I. PENDAHULUAN
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa
Pengertian Rahn dan Ijarah?
B. Bagaimana
Dasar Hukum Mengenai Rahn dan Ijarah?
C. Bagaimana
Rukun serta Syarat Rahn dan Ijarah?
D. Bagaimana
Penyelesaian Rahn (Gadai) dan Pembatalan serta Berakhirnya Ijarah?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Rahn dan Ijarah
1. Pengertian Rahn
Menurut bahasa, ar-Rahn
(gadai) berarti al-tsubut dan al-habs, yaitu penetapan dan penahanan.
Adapula yang menjelaskan ahwa Rahn adalah terkurung atau terjerat.
Menurut istilah syara’,
yang dimaksud dengan Rahn ialah:
a.
جَعْلُ
عَيْنِ لَهَا قِيْمَةٌ مَالِيَّةٌ فِى نَظْرِالشَّارِعِ وَشِيْقَةٍ بِدَيْنِ بِحَيْثُ
يُمْكِنُ أَخْدُ ذَلِكَ الدَّيْنِ أَوْ أَخْدُ بَعْضِهِ مِنْ تِلْكَ الْعَيْنِ
“Menjadikan
suatu benda berharga dalam pandangan syarat sebagai jaminan atas uang selama
ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian harta
itu.”
b. Gadai
adalah akad perjanjian pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai
tanggungan utang.
جَعُلَ
الْمَالِ وَثِيْقَةٍ بِدَيْنٍ
“Menjadikan
harta sebagai jaminan utang.”
c. Gadai
ialah menjadikan sutu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai
tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau
sebagian utang dapat diterima.[1]
Adapun istilah-istilah
yang dipergunakan dalam perjanjian gadai ini menurut ketentuan syari’at Islam:
a. Pemilik
barang (yang berhutang) atau penggadai diistilahkan dengan “Rahn”.
b. Orang
yang menghutangkan atau penerima gadai diistilahkan dengan “Murtahin”.
c. Objek
atau barang yang digadaikan diistilahkan dengan “Rahn”.[2]
2. Pengertian Ijarah
Sewa menyewa dalam
bahasa Arab diistilahkan dengan “al-Ijarah” yang artinya sewa menyewa. Menurut
pengertian hukum Islam sewa menyewa itu diartikan sebagai “suatu jenis akad
untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian” (Sayid Sabiq, 13, 1988: 15)
Dari pengertian di atas
terlihat bahwa yang dimaksud dengan Ijarah atau sewa menyewa adalah pengambilan
manfaat suatu benda, jadi dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali,
dengan perkataan lain degan terjadinya peristiwa sewa menyewa, yang berpindah
hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut, dalam hal ini dapat berupa
manfaat barang seperti kendaraan, rumah, dan manfaat karya seperti pemusik,
bahkan dapt juga berupa karya pribadi seperti bekerja.[3]
Menurut ulama madzhab
Syafi’i mendefinisikan ijarah adalah transaksi terhadap manfaat yang dituju,
tertentu bersifat bisa dimanfaatkan dengan suatu imbalan tertentu. Sedangkan
menurut ulama Malikiyah dan Hambaliyah mendefinisikan ijarah adalah pemilikan
manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.[4]
Sewa menyewa
sebagaimana perjanjian lainnya, merupakan perjanjian yang bersifat konsensual,
perjanjian ini mempunyai kekuatan hukum, yaitu pada saat sewa menyewa
berlangsung, dan apabila akad sudah berlangsung, maka pihak yang menyewakan
(Mu’ajjr) berkewajiban untuk menyerahkan barang (Ma’jur) kepada pihak penyewa
(Musta’jir), dan dengan diserakahnnya manfaat barang atau benda maka pihak
penyewa berkewajiban pula untuk menyerahkan uang sewanya (upah).
B. Dasar Hukum Mengenai Rahn dan Ijarah
1. Q.
S. Al-Baqarah ayat 283
“Dan Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah,”(Q. S. Al-Baqarah: 283)[5]
2. Sabda
Rasulullah:
عَنْ
اَنَسٍ قَالَ: رَهَنَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم دِرْعًا عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ
بِالْمَدِيْنَةِ وَأَخَذَ شَعِيْرًا لأَِهْلِهِ (رواه احمد والبخارى والنساء وابن
ماجه)
“Dari Anas, katanya: “Rasulullah telah merungguhkan
baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaku beliau menghutang
syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga beliau.” (HR. Ahmad,
Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).
Para Ulama semuanya sependapat,
bahwa perjanjian gadai hukumnyaMubah (boleh). Namun ada yang berpegang kepada
dzahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan bepergian saja,
seperti paham yang dianut Madzhab Zhahiri, Mujahid, dan al-Dhahak. Sedangkan
jumhur (kebanyakan Ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan bepergian
maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti
yang disebutkan dalam hadits.[6]
3. Q.
S. Az-Zukhruf ayat 32
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat
Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain
beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain.
dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Q. S.
Az-Zukhruf: 32)
4. Q.
S. At-Thalaq ayat 6
jika mereka menyusukan (anak-anak)mu
untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya kepada mereka,” ( Q. S.
At-Thalaaq ayat 6)
5. Sabda
Rasulullah:
مَنِ
اسْتَجَا رَ أَجِيْرَ فَلْيَعْلَمْهُ أَجْرَهُ ( رواه عبد الرزاق والبيهقى )
“Siapa yang menyewa seseorang maka
hendaklah beritahu upahnya,” (HR. Abd. Razaq dan Baihaqi)
C. Rukun serta Syarat Rahn dan Ijarah
Disyaratkan untuk
sahnya akad Rahn (gadai) sebagai berikut:
1. Berakal
2. Baligh
3. Barang
yang dijadikan barang jaminan ada pada saat akad.
4. Barang
tersebut dipegang oleh orang-orang yang menerima gadai (murtahin) atau
wakilnya.
Adapun yang menjadi
rukun gadai adalah:
1. Adanya
lafadz (Ijab Qabul)
Ijab qabul dapat dilakukan dalam bentuk
tertulis maupun lisan.
2. Adanya
pemberi gadai dan penerima gadai.
3. Adanya
barang yang digadaikan.
Barang yang digadaikan merupakan berang
milik si pemberi gadai.
4. Adanya
utang
Disyaratkan merupakan utang yang tetap,
tidak berbunga.[7]
Adapun rukun dan syarat
Ijarah meliputi,
1. Mu’jir dan Musta’jir, yaitu
orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah mengupah. Mu’jir adalah yang
memberikan upah dan menyewakan, musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk
melakukan sesuatu dan yang menyea sesuatu.
Adapun syarat Mu’jir dan Musta’jir
adalah:
a.
Baligh
b.
Berakal
c.
Cakap melakukan tasharruf
(mengendalikan harta), dan saling meridhai,
d.
Mengetahui
manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah
terjadinya perselisihan.
2. Shighat, ijab qabul antara mu’jir
dan musta’jir, iijab qabul sewa mnyewa dan upah mengupah.
3. Ujrah, diisyaratkan diketahui
jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa menyewa maupun dalam upah
mengupah.
4. Barang
yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah mengupah, disyaratkan
pada barang yang disewakan dengan bebrapa syarat berikut,
a. Hendaklah
barang yang menjadi objek akad sewa menyewa dan upah mengupah dapat
dimanfaatkan kegunaanya.
b. Hendaklah
benda yang menjadi objek sewa menyewa dan upah mengupah dapat diserahkan kepada
penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa menyewa).
c. Manfaat
dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’ bukan
hal yang dilarang.
d. Bennda
yang disewakan diisyaratkan kekal ‘ain (dzat)-nya hingga waktu yang
ditentukan menurut perjanjian dalam akad.[8]
D. Penyelesaian Rahn (Gadai) dan Pembatalan serta
Berakhirnya Ijarah
1. Penylesaian Rahn
Untuk menjaga supaya
tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadaitidak boleh diadakan syarat-syarat,
misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin tidak mampu
melunasi utangnyahingg waktu yang telah ditentukan, maka marhun menjadi
milik murtahin sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemunglianan pada
waktu pebayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun
akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus dibayar, yang
mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga
harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih
besar jumlahnya daripada utnag yang harus dibayar, yang akibatnya akan
merugikan pihak lain.
Apabila padaa waktu
pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak
murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin
sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu
dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar
piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar
dari jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila
sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin
masih menanggung pembayaran kekurangannya.
2. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah menjadi batal (fasakh) dengan
hal, sebagai berikut:
1.
Terjadi aib pada
barang sewaan yang kejadiannya di tangan penyewa atau terlihat aib lama
padanya.
2.
Rusaknya barang
yang disewakan, seperti rumah dan buinatang yang’ain.
3.
Rusaknya barang
yang diupahkan (ma’jur alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan,
karena akad tidak mungkin terpenuhi sesudah rusaknya (barang).
4.
Terpenuhnya
manfaat yang diakdkan, atau selesainya pekerjaan, atau berakhinya masa, kecuali
jika terdapat udzur yang mencegah fasakh.
5.
Penganut-penganut
madzhab Hanafi berkata: Boleh memfasakh ijarah, karena adanya udzur sekalipun
dari salah satu pihak. Seperti seseorang yang menyewa toko untuk berdagang,
kemudian hartanya terbakar, atau dicuri, atau dirampas, atau bngkrut, maka ia
berhak memfasakh ijarah.[9]
Jika ijarah telah berakhir,
penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Jika barang itu berbentuk
barang dapat dipindah, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya. Dan jika
berbentuk barang tidak bergerak (‘Iqar), ia berkewajiban menyerahkan kepada
pemilinya dalam keadaan kosong (tidak ada) hartanya.
IV. KESIMPULAN
Rahn
(Gadai) ialah menjadikan sutu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai
tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau
sebagian utang dapat diterima.
Sedangakan
Ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan
penggantian. Ijarah atau sewa menyewa adalah pengambilan manfaat suatu benda,
jadi dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali, dengan perkataan lain
degan terjadinya peristiwa sewa menyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari
benda yang disewakan tersebut.
Adapun
syarat dan rukun Rahn meliputi,
1. Berakal
2. Baligh
3. Barang
yang dijadikan barang jaminan ada pada saat akad.
4. Barang
tersebut dipegang oleh orang-orang yang menerima gadai (murtahin) atau
wakilnya.
5. Adanya
lafadz (Ijab Qabul)
6. Adanya
pemberi gadai dan penerima gadai.
7. Adanya
barang yang digadaikan.
8. Adanya
utang
Adapun rukun dan syarat
Ijarah meliputi,
1.
Mu’jir dan Musta’jir
2.
Shighat, ijab
qabul antara mu’jir dan musta’jir,
3.
Ujrah, diisyaratkan diketahui
jumlahnya oleh kedua belah pihak,
4.
Barang yang
disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah mengupah, disyaratkan pada
barang yang disewakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Suhendi, Hendi, Fiqih
Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002).
H. Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, Hukum
Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1996).
Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam
Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003).
Al-qur’an dan
Terjemahnya, (Kudus: Menara Kudus, 2006).
Sabiq,
Sayyid, Fikih Sunnah jilid 13, penerj. Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung:
PT. Al-Ma’rif, 1998).
[1]
Hendi Suhendi, Fiqih
Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 105-106
[2]
H. Chairuman Pasaribu
Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 1996), hlm. 140-141
[3]
H. Chairuman Pasaribu
Suhrawardi K. Lubis, Ibid, hlm. 52
[4]
M. Ali Hasan, Berbagai
Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), hlm. 227-228
[5]
Al-qur’an dan Terjemahnya,
(Kudus: Menara Kudus, 2006), hlm. 49
[6]
M. Ali Hasan, Op. cit, hlm.
255
[7]H. Chairuman Pasaribu Suhrawardi
K. Lubis, Op. cit, hlm. 141-142
[8]
H. Hendi Suhendi, Op.
cit, hlm. 117-118
[9]
Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah jilid 13, penerj. Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: PT. Al-Ma’rif,
1998), hlm. 34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar