Senin, 02 April 2012

RAHN DAN IJARAH




I.       PENDAHULUAN
II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Pengertian Rahn dan Ijarah?
B.     Bagaimana Dasar Hukum Mengenai Rahn dan Ijarah?
C.     Bagaimana Rukun serta Syarat Rahn dan Ijarah?
D.    Bagaimana Penyelesaian Rahn (Gadai) dan Pembatalan serta Berakhirnya Ijarah?

III. PEMBAHASAN
A.    Pengertian Rahn dan Ijarah
1.      Pengertian Rahn
Menurut bahasa, ar-Rahn (gadai) berarti al-tsubut dan al-habs, yaitu penetapan dan penahanan. Adapula yang menjelaskan ahwa Rahn adalah terkurung atau terjerat.
Menurut istilah syara’, yang dimaksud dengan Rahn ialah:
a.        
جَعْلُ عَيْنِ لَهَا قِيْمَةٌ مَالِيَّةٌ فِى نَظْرِالشَّارِعِ وَشِيْقَةٍ بِدَيْنِ بِحَيْثُ يُمْكِنُ أَخْدُ ذَلِكَ الدَّيْنِ أَوْ أَخْدُ بَعْضِهِ مِنْ تِلْكَ الْعَيْنِ

“Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syarat sebagai jaminan atas uang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian harta itu.”
b.      Gadai adalah akad perjanjian pinjam meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.

جَعُلَ الْمَالِ وَثِيْقَةٍ بِدَيْنٍ
“Menjadikan harta sebagai jaminan utang.”
c.       Gadai ialah menjadikan sutu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.[1]
Adapun istilah-istilah yang dipergunakan dalam perjanjian gadai ini menurut ketentuan syari’at Islam:
a.       Pemilik barang (yang berhutang) atau penggadai diistilahkan dengan “Rahn”.
b.      Orang yang menghutangkan atau penerima gadai diistilahkan dengan “Murtahin”.
c.       Objek atau barang yang digadaikan diistilahkan dengan “Rahn”.[2]
            
2.      Pengertian Ijarah
Sewa menyewa dalam bahasa Arab diistilahkan dengan “al-Ijarah” yang artinya sewa menyewa. Menurut pengertian hukum Islam sewa menyewa itu diartikan sebagai “suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian” (Sayid Sabiq, 13, 1988: 15)
Dari pengertian di atas terlihat bahwa yang dimaksud dengan Ijarah atau sewa menyewa adalah pengambilan manfaat suatu benda, jadi dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali, dengan perkataan lain degan terjadinya peristiwa sewa menyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti kendaraan, rumah, dan manfaat karya seperti pemusik, bahkan dapt juga berupa karya pribadi seperti bekerja.[3]
Menurut ulama madzhab Syafi’i mendefinisikan ijarah adalah transaksi terhadap manfaat yang dituju, tertentu bersifat bisa dimanfaatkan dengan suatu imbalan tertentu. Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan Hambaliyah mendefinisikan ijarah adalah pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.[4]
Sewa menyewa sebagaimana perjanjian lainnya, merupakan perjanjian yang bersifat konsensual, perjanjian ini mempunyai kekuatan hukum, yaitu pada saat sewa menyewa berlangsung, dan apabila akad sudah berlangsung, maka pihak yang menyewakan (Mu’ajjr) berkewajiban untuk menyerahkan barang (Ma’jur) kepada pihak penyewa (Musta’jir), dan dengan diserakahnnya manfaat barang atau benda maka pihak penyewa berkewajiban pula untuk menyerahkan uang sewanya (upah).
              
B.     Dasar Hukum Mengenai Rahn dan Ijarah
1.      Q. S. Al-Baqarah ayat 283

“Dan Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah,”(Q. S. Al-Baqarah: 283)[5]

2.      Sabda Rasulullah:

عَنْ اَنَسٍ قَالَ: رَهَنَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم دِرْعًا عِنْدَ يَهُوْدِيٍّ بِالْمَدِيْنَةِ وَأَخَذَ شَعِيْرًا لأَِهْلِهِ (رواه احمد والبخارى والنساء وابن ماجه)

“Dari Anas, katanya: “Rasulullah telah merungguhkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaku beliau menghutang syair (gandum) dari orang Yahudi itu untuk keluarga beliau.” (HR. Ahmad, Bukhari, Nasai, dan Ibnu Majah).

Para Ulama semuanya sependapat, bahwa perjanjian gadai hukumnyaMubah (boleh). Namun ada yang berpegang kepada dzahir ayat, yaitu gadai hanya diperbolehkan dalam keadaan bepergian saja, seperti paham yang dianut Madzhab Zhahiri, Mujahid, dan al-Dhahak. Sedangkan jumhur (kebanyakan Ulama) membolehkan gadai, baik dalam keadaan bepergian maupun tidak, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah di Madinah, seperti yang disebutkan dalam hadits.[6]  

3.      Q. S. Az-Zukhruf ayat 32
“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (Q. S. Az-Zukhruf: 32)

4.      Q. S. At-Thalaq ayat 6

jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya kepada mereka,” ( Q. S. At-Thalaaq ayat 6)
5.      Sabda Rasulullah:
مَنِ اسْتَجَا رَ أَجِيْرَ فَلْيَعْلَمْهُ أَجْرَهُ ( رواه عبد الرزاق والبيهقى )
“Siapa yang menyewa seseorang maka hendaklah beritahu upahnya,” (HR. Abd. Razaq dan Baihaqi)

C.    Rukun serta Syarat Rahn dan Ijarah
Disyaratkan untuk sahnya akad Rahn (gadai) sebagai berikut:
1.      Berakal
2.      Baligh
3.      Barang yang dijadikan barang jaminan ada pada saat akad.
4.      Barang tersebut dipegang oleh orang-orang yang menerima gadai (murtahin) atau wakilnya.
Adapun yang menjadi rukun gadai adalah:
1.      Adanya lafadz (Ijab Qabul)
Ijab qabul dapat dilakukan dalam bentuk tertulis maupun lisan.
2.      Adanya pemberi gadai dan penerima gadai.
3.      Adanya barang yang digadaikan.
Barang yang digadaikan merupakan berang milik si pemberi gadai.
4.      Adanya utang
Disyaratkan merupakan utang yang tetap, tidak berbunga.[7]     
Adapun rukun dan syarat Ijarah meliputi,
1.      Mu’jir dan Musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa menyewa atau upah mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah dan menyewakan, musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyea sesuatu.
Adapun syarat Mu’jir dan Musta’jir adalah:
a.       Baligh
b.      Berakal
c.       Cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta), dan saling meridhai,
d.      Mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.   
2.      Shighat, ijab qabul antara mu’jir dan musta’jir, iijab qabul sewa mnyewa dan upah mengupah.
3.      Ujrah, diisyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa menyewa maupun dalam upah mengupah.
4.      Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan bebrapa syarat berikut,
a.       Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa menyewa dan upah mengupah dapat dimanfaatkan kegunaanya.
b.      Hendaklah benda yang menjadi objek sewa menyewa dan upah mengupah dapat diserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa menyewa).
c.       Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’ bukan hal yang dilarang.
d.      Bennda yang disewakan diisyaratkan kekal ‘ain (dzat)-nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.[8]    
D.    Penyelesaian Rahn (Gadai) dan Pembatalan serta Berakhirnya Ijarah
1.      Penylesaian Rahn
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadaitidak boleh diadakan syarat-syarat, misalkan ketika akad gadai diucapkan, “Apabila rahin tidak mampu melunasi utangnyahingg waktu yang telah ditentukan, maka marhun menjadi milik murtahin sebagai pembayaran utang”, sebab ada kemunglianan pada waktu pebayaran yang telah ditentukan untuk membayar utang harga marhun akan lebih kecil daripada utang rahin yang harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga marhun pada waktu pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya daripada utnag yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak lain.
Apabila padaa waktu pembayaran yang telah ditentukan rahin belum membayar utangnya, hak murtahin adalah menjual marhun, pembelinya boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku pada waktu itu dari penjualan marhun tersebut. Hak murtahin hanyalah sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan marhun lebih besar dari jumlah utang, sisanya dikembalikan kepada rahin. Apabila sebaliknya, harga penjualan marhun kurang dari jumlah utang, rahin masih menanggung pembayaran kekurangannya.                 
2.      Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah menjadi batal (fasakh) dengan hal, sebagai berikut:
1.        Terjadi aib pada barang sewaan yang kejadiannya di tangan penyewa atau terlihat aib lama padanya.
2.        Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah dan buinatang yang’ain.
3.        Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan, karena akad tidak mungkin terpenuhi sesudah rusaknya (barang).
4.        Terpenuhnya manfaat yang diakdkan, atau selesainya pekerjaan, atau berakhinya masa, kecuali jika terdapat udzur yang mencegah fasakh.
5.        Penganut-penganut madzhab Hanafi berkata: Boleh memfasakh ijarah, karena adanya udzur sekalipun dari salah satu pihak. Seperti seseorang yang menyewa toko untuk berdagang, kemudian hartanya terbakar, atau dicuri, atau dirampas, atau bngkrut, maka ia berhak memfasakh ijarah.[9]
Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Jika barang itu berbentuk barang dapat dipindah, ia wajib menyerahkannya kepada pemiliknya. Dan jika berbentuk barang tidak bergerak (‘Iqar), ia berkewajiban menyerahkan kepada pemilinya dalam keadaan kosong (tidak ada) hartanya.       

IV. KESIMPULAN
Rahn (Gadai) ialah menjadikan sutu benda bernilai menurut pandangan syara’ sebagai tanggungan utang, dengan adanya benda yang menjadi tanggungan itu seluruh atau sebagian utang dapat diterima.
Sedangakan Ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Ijarah atau sewa menyewa adalah pengambilan manfaat suatu benda, jadi dalam hal ini bendanya tidak berkurang sama sekali, dengan perkataan lain degan terjadinya peristiwa sewa menyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari benda yang disewakan tersebut.
Adapun syarat dan rukun Rahn meliputi,
1.      Berakal
2.      Baligh
3.      Barang yang dijadikan barang jaminan ada pada saat akad.
4.      Barang tersebut dipegang oleh orang-orang yang menerima gadai (murtahin) atau wakilnya.
5.      Adanya lafadz (Ijab Qabul)
6.      Adanya pemberi gadai dan penerima gadai.
7.      Adanya barang yang digadaikan.
8.      Adanya utang
   
Adapun rukun dan syarat Ijarah meliputi,
1.      Mu’jir dan Musta’jir
2.      Shighat, ijab qabul antara mu’jir dan musta’jir,
3.       Ujrah, diisyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak,
4.      Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan.

DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002).
H. Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1996).
Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003).
Al-qur’an dan Terjemahnya, (Kudus: Menara Kudus, 2006).
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah jilid 13, penerj. Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: PT. Al-Ma’rif, 1998).


[1] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 105-106
[2] H. Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1996), hlm. 140-141
[3] H. Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, Ibid, hlm. 52
[4] M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 227-228
[5] Al-qur’an dan Terjemahnya, (Kudus: Menara Kudus, 2006), hlm. 49
[6] M. Ali Hasan, Op. cit, hlm. 255
[7]H. Chairuman Pasaribu Suhrawardi K. Lubis, Op. cit, hlm. 141-142
[8] H. Hendi Suhendi, Op. cit, hlm. 117-118
[9] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 13, penerj. Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: PT. Al-Ma’rif, 1998), hlm. 34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar