Senin, 02 April 2012

PENGEMBANGAN ILMU AGAMA ISLAM DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU


I.       PENDAHULUAN
Filsafat Ilmu ini merupakan cabang filsafat yang merefleksi, radikal, dan integral mengenai hakikat ilmu pengetahuan itu sendiri. Filsafat Ilmu merupakan penerus dalam pengembangan filsafat pengetahuan (epistemologi), sebab pengetahuan ilmiah tidak lain adalah a higher level dalam rangka perangkat pengetahuan manusia dalam arti umum sebagaimana kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. (Koento Wibisono, 1994: 18)
Dalam upaya mencapai tujuan maka di dalam struktur Kurikulum Pendidikan Tinggi, ilmu Agama Isslam termasuk komponen mata Kuliah Dsar umum, artinya menjadi dasar bagi pembentukan manusia intelektual yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta memiliki wawasan, bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agamanya di dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan di dalam melaksanakan tugas pembangunan nasional. Sehingga makalah ini diharapkan dapat membekali mahasiswa untuk mampu melihat dunia ini dari sisi lain, yaitu tidak hanya dari sudut fisika tetapi juga dari sudut metafisika ataupun filsafat.[1]           
II.                PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ilmu dan Hal-hal yang Berkaitan dengannya
1.      Pengertian Ilmu
Pengertian ilmu dapat dirujukkan pada kata ‘ilm (Arab), science (Inggris), watenschap (Belanda), dan wissenschaf (Jerman).[2] Dalam bahasa Indonesia Ilmu seimbang artinya dengan science dan dibedakan pemakaianya secara jelas dengan kata pengetahuan. Dengan kata lain ilmu dan pengetahuan mempunyai pengertian yang berbeda secara mendasar.[3] R. Harre menulis ilmu adalah a collection of well-attested theories which explain the patterns regularities and irregularities among carefully studied phenomena, atau kumpulan teori-teori yang sudah diuji coba yang menjelaskan tentang pola-pola yang teratur atau pun tidak teratur di antara fenomena yang dipelajari secara hati-hati.[4]
Seringkali ilmu diartikan sebagai pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat dinamakan sebagai ilmu, melainkan pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara tertentu berdasarkan-kesepakatan para ilmuwan. Ilmu dapat didefinisikan sebagai rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif  dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan atau individu untuk tujuan mencapai  kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan ataupun melakukan penerapan.[5]
Terlihat bahwa pernyataan-pernyataan keilmuan berkaitan satu sama lain, yang kesemuannya merupakan suatu informasi yang utuh. Pernyataan seperti air laut pasang, bulan berada di atas laut, bulan mempunyai gaya gravitasi, masing-masing terpisah (isolated). Jadi masing-masing merupakan informasi pengetahuan, bukan keilmuan. Bila kesemuanya dirangkai ditambah dengan pernyataan lain sehingga merupakan kesatuan informasi yang menerangkan tentang peristiwa pasangnya air laut, maka pernyataan itu menjadi infomasi keilmuan.
Ilmu (species) adalah sebagian dari pengetahuan (genus). Dengan demikian maka ilmu adalah pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yakni ciri-ciri ilmiah, atau dengan perkataan lain, ilmu adalah sinonim dengan pengetahuan ilmiah.[6] 

2.      Klasifikasi Ilmu
Dalam pengetahuan modern dikenal dengan pembagian ilmu atas kelompok ilmu a pasteriori, dan kelompok ilmu a priori. Ilmu a pasteriori adalah ilmu pengetahuan yang kita peroleh dari pengalaman inderawi, atau diperoleh dari sumber pengalaman eksperimen, seperti Ilmu Kimia, Ilmu Alam, Ilmu Hayat, Ilmu kesehatan. Ilmu a priori adalah ilmu-ilmu yang tidak kita peroleh dari pengalaman dan percobaan, tetapi bersumber pada akal itu sendiri. Semua ilmun yang tidak tergantung kepda pengalaman dan eksperimen termasuk dalam kelompok ini.[7]
3.      Fungsi Ilmu
Adapun beberapa fungsi dari Ilmu, antara lain:
a.       Ilmu sebagai aktifitas
1.      Rasional, yaitu proses pemikiraan yang berpegang pada pemikiran-pemikiran logika.
2.      Kognitif, yaitu proses mengetahuan dan memperoleh pengetahuan.
3.      Tekhnologis, meliputi mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman,  memberikan penjelasan, melakukan penerapan dengan melalui peramalan atau  pengendalian.
b.      Ilmu sebagai metode ilmiah
1.      Pola prosedural
a.       Pengamatan       e. Percobaan
b.      Pengukuran        f. Survey
c.       Deduksi             g. Induksi
d.      Analisis              h. Lainnya
2.      Tata langkah
a.       Menentuan Masalah
b.      Perumusan Hipotesis (bila Perlu)
c.       Pengumpulan Data
d.      Penurunan Kesimpulan
e.       Pengujian Hasil
3.       Berbagai teknik
4.      Aneka alat
5.      Ilmu sebagai pengetahuan ilmiah
1.      Segi objek pengetahuan
a.       Objek material
b.      Objek formal
2.      Segi sifat pengetahuan
a.       Empiris
b.      Sistematis
c.       Obyektif
d.      Analitif
e.       Verifikatif

B.     Ilmu Agama Islam dan Perkembangannya dalam Perspektif Filsafat Ilmu
1.      Pengertian Ilmu Agama Islam
Sebelum menuju ke pengertian Ilmu Agama Islam, kita pahami dulu arti perkataan Islam itu sendiri. Islam berasal dari kata salima yang berarti sejhtera, tidak tercela, tidak bercacat. Dari kata itu terbentuk kata-kata salm, silm yang berarti kedamaiaan, kepatuhan, penyerahan diri. Demikianlah analisis makna perkataan Islam, intinya adalah berserah diri, tuduk, patuh, dan taat dengan sepenuh hati kepada kehendak Illahi.[8] Islam sebagai wahyu yang memberi bimbingan kepada manusia mengenai semua aspek hidup dan kehidupannya. Sehingga Ilmu Agama Islam merupakan cabang dari ilmu pengetahuan yang meliputi satu sistem akidah dan syari’ah serta akhlak yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam berbagai hubungan.
2.      Kerangka Dasar Agama Islam
Al-Qur’an dan Hadits merupakan dua sumber yang memuat komponen agama Islam. Komponen tersebut menjadi isi kerangka dasar Agama Islam yang di bagi menjadi beberapa komponen, antara lain:
a.        Akidah, secara etimologi berarti ikatan, sangkutan. Menurut terminologi akidah adalah iman, keyakinan. Karena itu, akidah selalu ditautkan dengan Rukun Iman yang merupakan asas seluruh ajaran Islam. Adapun Rukun Iman ada 6, yaitu (1) iman (percaya) kepada Allah, (2) iman kepada para Malaikat, (3) iman kepada Kitab Suci, (4) iman kepada Nabi dan Rasul, (5) iman kepada Hari Akhir, (6) iman kepada Qadha dan Qhadar.
b.        Syari’ah, menurut terminologi artinya adalah jalan (ke sumber atau mata air) yang harus ditempuh (oleh setiap umat Islam). Secara terminologi, syari’ah adalah sistem norma atau (kaidah) Illahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia dalam kehidupan sosial, hubunga manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Kaidah yang mengatur hugungan langsung dengan Allah disebut Kaidah Ibadah atau Kaidah Ubudiyyah. Kaidah yang mengatur hubungan manusia selain dengan Allah disebut Kaidah Muamalat. Disiplin ilmu yang khusus membahas dan menjelaskan syari’ah disebut ilmu fikih.
c.         Akhlak, berasal dari kata khuluk yang berarti perangai, sikap, perilaku, watak, budi pekerti. Akhlak adalah sikap yang menimbulkan kelakuan baik atau buruk.
              
3.    Perkembangan Ilmu Agama Islam dalam Perspektif Filsafat Ilmu
Semua filsuf Muslim yang berpendidikan, seperti Ibn Maskawih (932-1030), al-Ghazali (1059-1111), Ibn Khaldun (1332-1406), Shaha Wali Ullah (1703-1763) dan Allama Muhammad Iqbal, semuannya sependapat bahwa sumber semua pengetahuan, adalah Yang Kudus dan Yang Illahi. Lagipula, wahyu yang pertama yang diterima Nabi dari Allah mengandung perintah, ”Bacalah dengan nama Allah.” Perintah ini mewajibkan orang untuk membaca, artinya, pengetahuan harus dicari dan diperoleh demi Allah. Ini berarti bahwa wawasan tentang Yang Kudus, yang memberi dasar hakiki bagi pengetahuan, harus menyertai dan merembesi proses pendidikan pada setiap tahapnya. kiita mengetahui tentang Allah hanya melalui apa yang ia sendiri mewahyukannya dalam Al-qur’an. Salah satu sifat Allah yang disebutkan dalam Al-qur’an adalah Alim yang berarti “yang memliki pengetahuaan.” Oleh sebab itu, memiliki pengetahuan merupakan suatu sifat Illahi, dan mencari pengetahuan merupajkan kewajiban bagi yang beriman.[9]
Dengan latar belakang inilah peran filsafat dalam Islam dapat dipahami dalam segala keluasan dan kedalamannya, termasuk khususnya dimesi al-Hiqqah. Oleh karena Allah disebut sebagai al-Haqq dalam Al-qur’an juga merupakan sumber semua kebenaran yang diwahyukan, maka filsafat Islam selalu merupakan upaya untuk menjelaskan cara Allah menyampaikan kebenaran yang hakiki. Menurut al-Kindi (801-873), Filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat hal-ihwal dalam batas-batas kemungkinan manusia, oleh karena tujuan filsuf dengan pengetahuan teoritisnya adalah untuk mencapai kebenaran. Al-Farabi mendefinisikan Filsafat sebagai pengetahuan tentang existensi (maujud) qua existensi. Dikatakannya bahwa tidak ada satu pun di antara hal-hal yang ada yang tidak diminati filsafat. Ibnu Sina mengaitkan filsafat dengan kesempatan dan realisasikan diri: “Hikmah filsafat adalah penyempurnaan jiwa manusia melalui pengkonsepsian hal-ihwal dan penimbangan kebenaran-kebenaran teoritis dan praktis dalam batas-batas kemampuan manusia.
Oleh karena dalam Islam, di antara nama-nama Allah juga terdapat kebenaran, maka tidak terelakkan adanya hubungan yang erat antara filsafat dan agama.  Oleh sebab itu, kita dapati semua filsuf Islam, berturut-berturut, menekankan dan membuktikan adanya keselarasan antara perintah-perintah agama dan penyataan-pernyataan filsafat. Oleh sebab itu kebenaran-kebenaran itu tidak dapat tunduk kepada otoritas manapun kecuali otoritas mereka sendiri. “Filsafat,” kata Allama Muhammad Iqbal, tidak disangsikan lagi mempunyai yurusdiksi untuk meghakimi agama, akan tetapi yang hendak dihakimi itu sifatnya sedemikian rupa sehinga ia tidak akan tunduk pada yurisdiksi filsafat kecuali dengan persyaratan-persyaratannya sendiri. Sementara menghakimi agama, filsafat tidak dapat memberikan kepada agama suatu kedudukan yang lebih rendah di antara data-datanya. Maka, dalam menilai agama, filsafat harus mengakui kedudukan sentral agama dan tidak mempunyai alernatif lain kecuali menganggapnya sebagai suatu titik pusat dalam proses sintesis relektif.
Mereka percaya bahwa pengetahuan mengenai sifat Allah, takdir roh manusia, penciptaan alam semesta, kehidupan di akhirat dan mengenai masalah-masalah lainnya yang sifatnya transendental, berasal lagusung dari Allah dan prinsipnya tidak dapat diperdebatkan, maka masalah-masalah itu kedap terhadap segala upaya, dari kaum terpandai sekalipun di dunia, dan oleh karenanya dianggap bagai “tidak terpecahkan”. Menurut Gabriel Marcel (1889-1973), seorang filsuf Prancis, persoalan-persoalan mengenai sifat Allah, takdir roh manusia dan kehidupan di akhirat bukan merupakan masalah, melainkan misteri, yang tidak dapat dipecahkan melalui teknik-teknik penalaran induktif atau deduktif. Misteri tidak mungkin dijelaskan secara ilmiah atau rasional, dan hanya dapat dijelaskan oleh seseorang melalui kekuatan imajinasinya.[10]
Al-qur’an sebagi kitab wahyu Allah memecahkan misteri-misteri kehidupan dan kematian dengan cara yang tegas dan gamblang. Di samping Al-qur’an, ada sunnah, yakni tradisi yang mencatat apa yang dikatakan tau diperbuat oleh Nabi, oleh karena kehidupan Nabi itu merupakan contoh hidup dalam Al-qur’an, dan harus diterima dengan keyakinan penuh akan kebenarannya dan biasanya diterapkan dalam kehidupan. Di samping Al-qur’an dan sunnah, yang harus diterima tanpa syarat, masih ada syari’at jalan kewajiban yang telah digariskan oleh Al-qur’an dan dijelaskan secara lebih rinci oleh sunnah Nabi. Di samping Al-qur’an, sunnah, syari’ah, ada ilm al-ladunny dan hikmah, yakni pengetahuan kerohanian dan kebijaksanaan. Pengetahuan ini pun harus diterima tanpa kritik.
Persoalan-persoalan itu, dan banyak lainnya, termasuk persoalan tentang sifat nubuat, menegenai wahyu dan persoalan-persoalan lainnya yang sudah tidak asing lagi bagi para penekun filsafat Islam, sangat menonjol dalam perdebatan di kalangan para filsuf Muslim. Demikianlah, maka dengan menerima kerangaka keagamaan Islam, seorang filsuf Muslim tidak dilarang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang serius, signifikan, dan sifatnya filosofis. Sementara filsuf Muslim bahkan mempersoalkan eksistensi Allah. Dalam ceramah-ceramahnya mengenai The Reconstruction of Religious Thougt in Islam, Alama Muhammad Iqbal mengkaji argumen-argumen tradisional yang membenarkan adanya Allah, yang oleh para filsuf Muslim, seperti juga para rekan mereka di Barat, telah dikemukakan di masa lampau, seperti Kant. Ia pun sampai kepada kesimpulan bahwa argumen-argumen itu tidak dapat diterima. Oleh sebab itu, ia menolak semuannya dan kembali mengandalkan kepada pengalaman. Lalu ada Muhammad ibn Zakariyya al-Razi (865-925) yang walaupun seorang ateis menolak nubuat dengan alasan bahwa rasio sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan buruk, dan bahwa rasio saja memungkinkan kit mengetahui Allah. Ia juga menolak kemukjizatan Al-qur’an dan lebih mengutamakan buku-buku ilmiah di atas semua kitab suci. Demikianlah agama, walaupun diwahyukan dan dalam beberapa hal bersifat dogmatik, meninmbulkan persoalan-persoalan yang tidak dapat dikesampingkan tanpa mengemukakan alasan-alasan pro-kontranya.
4.    Filsafat Ilmu dan Objek Pembahasan Filsafat Ilmu
1.      Pengertian Filsafat Ilmu
Kata “filsafat” dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata piloshopia (latin), philoshopy (Inggris), philoshopic (Jerman, Belanda, Prancis), Ifalsafah (Arab). Istilah tersebut daari philein yang berarti "mencintai”, sedangkan philos yang berarti “teman, kawan, sahabat”. Selanjutnya istilah shopos yang berarti “bijaksana”. Sedangkan sophia yang berarti “kebijaksanaan”. Filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain, Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.[11]
Menurut A.Cornelius Benjamin, Filsafat Ilmu adalah cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual. Sedangkan Peter Caws mengatakan bahwa Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia.
Menurut Stephen R. Toulmin, Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika.
       
2.      Objek Kajian Filsafat Ilmu
a.       Objek Material
Objek material adalah objake yang dijadikan sasaran penyelidikan oleh suatu ilmu atau objek yang dipelajari oleh suatu ilmu itu. Objek material filsafat ilmu adalah pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan ynag telah disusun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara umum.
b.      Objek Formal
Objek formal adalah sudut pandang dari mana subjek menelaah objek materialnya. Objek foral filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, yang meliputi:
1.      Landasan Ontolgis, yaitu filsafat ilmu yang lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu itu sesungguhnya?
2.      Landasan Epistemologi, yaitu problem yang membicarakan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan yang mana melalui kebenaran ilmiah?
3.      Landasan Aksiologi, yaitu problem yang membicarakan apa fungsi pengetahuan itu bagi manusia?      

3.       Metodologi Ilmu Agama Islam
1.      Metode Filosofis
Penggunaan metode ini karena hubungan mnusia dengan Tuhan dibahas dalam filsafat, yakni dalam pemikiran metafisis (pemikiran yang berhubungan dengan hal-hal non-fisik atau tidak kelihatan) yang umum dan bebas.
2.      Metode Kosmologi
Metode ini untuk mempelajari dan menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang beraturan). Metode kosmologi juga digunakan untuk meneliti manusia dan alam lingkungannya.
3.      Metode Sejarah, Sosiologi dan Antropologi
Yaitu metode yang mempelajari ilmu tentang manusia
4.      Metode Doktriner
Biasanya digunakan oleh Ulama Muslim. Metode doktriner adalah metode tanpa menghubungkannya dengan kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam masyarakat, berakibat penafsiran dan fatwaynag mereka berikan tidak dapat diterapkan dalam masyarakat. Namun metode ini menimbulkan kesan bahwa Islam ketinggalan zaman dan menghambat kemajuan.   
5.      Metode Sintesis
Metode ini merupakan gabungan dari saintifik dan doktriner yang bertujuan untuk mencapai hasil (pemahaman) yang terpadu dan terpakai.[12]

III.             KESIMPULAN
1.      Ilmu dapat didefinisikan sebagai rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan kognitif  dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan atau individu untuk tujuan mencapai  kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan ataupun melakukan penerapan.
2.      Ilmu Agama Islam merupakan cabang dari ilmu pengetahuan yang meliputi satu sistem akidah dan syari’ah serta akhlak yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam berbagai hubungan.
3.      Filsafat adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain, Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.



[1] H. M. Rasjidi dan H. Harifuddin Cawidu, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988), hlm. ix-x  
[2] Imam Syafi’ie, Konsep Ilmu Pengetahuan dalam al-Qur’an (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 26.
[3] Mundirin, Logika, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 5
[4] R. Harre, The Philosophies of Science, an Introductory Survey (London: The Oxford University    Press, 1995), hlm. 62.
[5] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Liberty, 1991), hlm. 90.
[6] Jujun S. Suriasumantri, FILSAFAT ILMU Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: PT. Total Grafika, 1982), hlm. 297
[7] Mundirin, Op. cit, hlm. 7
[8] H. Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hlm. 50
[9] C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, penerj, Hasan Basri, (Jakarta: Yayasan obor, 1989), hlm. 5-7

[10] Ibid, hlm. 10-11
[11] Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 1 & 3
[12] H. Muhammad Daud Ali, Op. Cit, hlm. 86-87

Tidak ada komentar:

Posting Komentar