I. PENDAHULUAN
Filsafat Ilmu ini merupakan cabang
filsafat yang merefleksi, radikal, dan integral mengenai hakikat ilmu
pengetahuan itu sendiri. Filsafat Ilmu merupakan penerus dalam pengembangan
filsafat pengetahuan (epistemologi), sebab pengetahuan ilmiah tidak lain
adalah a higher level dalam rangka perangkat pengetahuan manusia dalam arti
umum sebagaimana kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. (Koento Wibisono,
1994: 18)
Dalam upaya mencapai tujuan maka di
dalam struktur Kurikulum Pendidikan Tinggi, ilmu Agama Isslam termasuk komponen
mata Kuliah Dsar umum, artinya menjadi dasar bagi pembentukan manusia
intelektual yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta memiliki wawasan,
bersikap dan bertindak sesuai dengan ajaran agamanya di dalam kehidupan
pribadi, bermasyarakat dan di dalam melaksanakan tugas pembangunan nasional.
Sehingga makalah ini diharapkan dapat membekali mahasiswa untuk mampu melihat dunia
ini dari sisi lain, yaitu tidak hanya dari sudut fisika tetapi juga dari sudut
metafisika ataupun filsafat.[1]
II.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu dan Hal-hal yang Berkaitan dengannya
1. Pengertian Ilmu
Pengertian ilmu dapat dirujukkan pada kata ‘ilm
(Arab), science (Inggris), watenschap (Belanda), dan wissenschaf
(Jerman).[2]
Dalam bahasa Indonesia Ilmu seimbang artinya dengan science dan
dibedakan pemakaianya secara jelas dengan kata pengetahuan. Dengan kata
lain ilmu dan pengetahuan mempunyai pengertian yang berbeda secara mendasar.[3]
R. Harre menulis ilmu adalah
a collection of well-attested theories which explain the patterns
regularities and irregularities among carefully studied phenomena, atau
kumpulan teori-teori yang sudah diuji coba yang menjelaskan tentang pola-pola
yang teratur atau pun tidak teratur di antara fenomena yang dipelajari secara
hati-hati.[4]
Seringkali ilmu
diartikan sebagai pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat dinamakan
sebagai ilmu, melainkan pengetahuan yang diperoleh dengan cara-cara tertentu
berdasarkan-kesepakatan para ilmuwan. Ilmu dapat didefinisikan sebagai rangkaian aktivitas manusia yang rasional dan
kognitif dengan berbagai metode berupa
aneka prosedur dan tata langkah sehingga menghasilkan kumpulan pengetahuan yang
sistematis mengenai gejala-gejala kealaman, kemasyarakatan atau individu untuk
tujuan mencapai kebenaran, memperoleh
pemahaman, memberikan penjelasan ataupun melakukan penerapan.[5]
Terlihat bahwa
pernyataan-pernyataan keilmuan berkaitan satu sama lain, yang kesemuannya
merupakan suatu informasi yang utuh. Pernyataan seperti air laut pasang, bulan
berada di atas laut, bulan mempunyai gaya gravitasi, masing-masing terpisah
(isolated). Jadi masing-masing merupakan informasi pengetahuan, bukan keilmuan.
Bila kesemuanya dirangkai ditambah dengan pernyataan lain sehingga merupakan
kesatuan informasi yang menerangkan tentang peristiwa pasangnya air laut, maka
pernyataan itu menjadi infomasi keilmuan.
Ilmu (species) adalah
sebagian dari pengetahuan (genus). Dengan demikian maka ilmu adalah pengetahuan
yang mempunyai ciri-ciri tertentu yakni ciri-ciri ilmiah, atau dengan perkataan
lain, ilmu adalah sinonim dengan pengetahuan ilmiah.[6]
2. Klasifikasi Ilmu
Dalam
pengetahuan modern dikenal dengan pembagian ilmu atas kelompok ilmu a
pasteriori, dan kelompok ilmu a priori. Ilmu a pasteriori adalah
ilmu pengetahuan yang kita peroleh dari pengalaman inderawi, atau diperoleh
dari sumber pengalaman eksperimen, seperti Ilmu Kimia, Ilmu Alam, Ilmu Hayat,
Ilmu kesehatan. Ilmu a priori adalah ilmu-ilmu yang tidak kita peroleh
dari pengalaman dan percobaan, tetapi bersumber pada akal itu sendiri. Semua
ilmun yang tidak tergantung kepda pengalaman dan eksperimen termasuk dalam
kelompok ini.[7]
3. Fungsi Ilmu
Adapun
beberapa fungsi dari Ilmu, antara lain:
a.
Ilmu sebagai
aktifitas
1.
Rasional, yaitu
proses pemikiraan yang berpegang pada pemikiran-pemikiran logika.
2. Kognitif,
yaitu proses
mengetahuan dan memperoleh pengetahuan.
3. Tekhnologis,
meliputi mencapai
kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan penjelasan, melakukan penerapan dengan melalui peramalan atau pengendalian.
b. Ilmu
sebagai metode ilmiah
1. Pola
prosedural
a. Pengamatan e. Percobaan
b. Pengukuran f. Survey
c. Deduksi g. Induksi
d. Analisis h. Lainnya
2. Tata
langkah
a. Menentuan
Masalah
b. Perumusan
Hipotesis (bila Perlu)
c. Pengumpulan Data
d. Penurunan
Kesimpulan
e. Pengujian Hasil
3. Berbagai
teknik
4. Aneka
alat
5. Ilmu
sebagai pengetahuan ilmiah
1. Segi
objek pengetahuan
a. Objek
material
b. Objek
formal
2. Segi
sifat pengetahuan
a. Empiris
b. Sistematis
c. Obyektif
d. Analitif
e. Verifikatif
B. Ilmu Agama Islam dan Perkembangannya dalam
Perspektif Filsafat Ilmu
1. Pengertian Ilmu Agama Islam
Sebelum
menuju ke pengertian Ilmu Agama Islam, kita pahami dulu arti perkataan Islam
itu sendiri. Islam berasal dari kata salima yang berarti sejhtera, tidak
tercela, tidak bercacat. Dari kata itu terbentuk kata-kata salm, silm
yang berarti kedamaiaan, kepatuhan, penyerahan diri. Demikianlah analisis makna
perkataan Islam, intinya adalah berserah diri, tuduk, patuh, dan taat dengan
sepenuh hati kepada kehendak Illahi.[8]
Islam sebagai wahyu yang memberi bimbingan kepada manusia mengenai semua aspek
hidup dan kehidupannya. Sehingga Ilmu Agama Islam merupakan cabang dari ilmu
pengetahuan yang meliputi satu sistem akidah dan syari’ah serta akhlak yang
mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam berbagai hubungan.
2. Kerangka Dasar Agama Islam
Al-Qur’an
dan Hadits merupakan dua sumber yang memuat komponen agama Islam. Komponen
tersebut menjadi isi kerangka dasar Agama Islam yang di bagi menjadi beberapa
komponen, antara lain:
a.
Akidah,
secara etimologi berarti ikatan, sangkutan. Menurut terminologi akidah
adalah iman, keyakinan. Karena itu, akidah selalu ditautkan dengan Rukun Iman
yang merupakan asas seluruh ajaran Islam. Adapun Rukun Iman ada 6, yaitu (1)
iman (percaya) kepada Allah, (2) iman kepada para Malaikat, (3) iman kepada
Kitab Suci, (4) iman kepada Nabi dan Rasul, (5) iman kepada Hari Akhir, (6)
iman kepada Qadha dan Qhadar.
b.
Syari’ah,
menurut
terminologi artinya adalah jalan (ke sumber atau mata air) yang harus ditempuh
(oleh setiap umat Islam). Secara terminologi, syari’ah adalah sistem
norma atau (kaidah) Illahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
hubungan manusia dengan sesama manusia dalam kehidupan sosial, hubunga manusia
dengan benda dan alam lingkungan hidupnya. Kaidah yang mengatur hugungan
langsung dengan Allah disebut Kaidah Ibadah atau Kaidah Ubudiyyah. Kaidah
yang mengatur hubungan manusia selain dengan Allah disebut Kaidah Muamalat. Disiplin
ilmu yang khusus membahas dan menjelaskan syari’ah disebut ilmu fikih.
c.
Akhlak,
berasal dari kata khuluk yang berarti perangai, sikap, perilaku, watak,
budi pekerti. Akhlak adalah sikap yang menimbulkan kelakuan baik atau buruk.
3. Perkembangan Ilmu Agama Islam dalam Perspektif
Filsafat Ilmu
Semua filsuf Muslim yang berpendidikan,
seperti Ibn Maskawih (932-1030), al-Ghazali (1059-1111), Ibn Khaldun
(1332-1406), Shaha Wali Ullah (1703-1763) dan Allama Muhammad Iqbal, semuannya
sependapat bahwa sumber semua pengetahuan, adalah Yang Kudus dan Yang Illahi.
Lagipula, wahyu yang pertama yang diterima Nabi dari Allah mengandung perintah,
”Bacalah dengan nama Allah.” Perintah ini mewajibkan orang untuk membaca,
artinya, pengetahuan harus dicari dan diperoleh demi Allah. Ini berarti bahwa
wawasan tentang Yang Kudus, yang memberi dasar hakiki bagi pengetahuan, harus
menyertai dan merembesi proses pendidikan pada setiap tahapnya. kiita
mengetahui tentang Allah hanya melalui apa yang ia sendiri mewahyukannya dalam
Al-qur’an. Salah satu sifat Allah yang disebutkan dalam Al-qur’an adalah Alim
yang berarti “yang memliki pengetahuaan.” Oleh sebab itu, memiliki
pengetahuan merupakan suatu sifat Illahi, dan mencari pengetahuan merupajkan
kewajiban bagi yang beriman.[9]
Dengan
latar belakang inilah peran filsafat dalam Islam dapat dipahami dalam segala
keluasan dan kedalamannya, termasuk khususnya dimesi al-Hiqqah. Oleh
karena Allah disebut sebagai al-Haqq dalam Al-qur’an juga merupakan
sumber semua kebenaran yang diwahyukan, maka filsafat Islam selalu merupakan
upaya untuk menjelaskan cara Allah menyampaikan kebenaran yang hakiki. Menurut
al-Kindi (801-873), Filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat hal-ihwal dalam
batas-batas kemungkinan manusia, oleh karena tujuan filsuf dengan pengetahuan
teoritisnya adalah untuk mencapai kebenaran. Al-Farabi mendefinisikan Filsafat
sebagai pengetahuan tentang existensi (maujud) qua existensi. Dikatakannya
bahwa tidak ada satu pun di antara hal-hal yang ada yang tidak diminati
filsafat. Ibnu Sina mengaitkan filsafat dengan kesempatan dan realisasikan
diri: “Hikmah filsafat adalah penyempurnaan jiwa manusia melalui pengkonsepsian
hal-ihwal dan penimbangan kebenaran-kebenaran teoritis dan praktis dalam
batas-batas kemampuan manusia.
Oleh
karena dalam Islam, di antara nama-nama Allah juga terdapat kebenaran, maka
tidak terelakkan adanya hubungan yang erat antara filsafat dan agama. Oleh sebab itu, kita dapati semua filsuf
Islam, berturut-berturut, menekankan dan membuktikan adanya keselarasan antara
perintah-perintah agama dan penyataan-pernyataan filsafat. Oleh sebab itu
kebenaran-kebenaran itu tidak dapat tunduk kepada otoritas manapun kecuali
otoritas mereka sendiri. “Filsafat,” kata Allama Muhammad Iqbal, tidak
disangsikan lagi mempunyai yurusdiksi untuk meghakimi agama, akan tetapi yang
hendak dihakimi itu sifatnya sedemikian rupa sehinga ia tidak akan tunduk pada
yurisdiksi filsafat kecuali dengan persyaratan-persyaratannya sendiri.
Sementara menghakimi agama, filsafat tidak dapat memberikan kepada agama suatu
kedudukan yang lebih rendah di antara data-datanya. Maka, dalam menilai agama,
filsafat harus mengakui kedudukan sentral agama dan tidak mempunyai alernatif
lain kecuali menganggapnya sebagai suatu titik pusat dalam proses sintesis relektif.
Mereka
percaya bahwa pengetahuan mengenai sifat Allah, takdir roh manusia, penciptaan
alam semesta, kehidupan di akhirat dan mengenai masalah-masalah lainnya yang
sifatnya transendental, berasal lagusung dari Allah dan prinsipnya tidak dapat
diperdebatkan, maka masalah-masalah itu kedap terhadap segala upaya, dari kaum
terpandai sekalipun di dunia, dan oleh karenanya dianggap bagai “tidak
terpecahkan”. Menurut Gabriel Marcel (1889-1973), seorang filsuf Prancis,
persoalan-persoalan mengenai sifat Allah, takdir roh manusia dan kehidupan di
akhirat bukan merupakan masalah, melainkan misteri, yang tidak
dapat dipecahkan melalui teknik-teknik penalaran induktif atau deduktif.
Misteri tidak mungkin dijelaskan secara ilmiah atau rasional, dan hanya dapat
dijelaskan oleh seseorang melalui kekuatan imajinasinya.[10]
Al-qur’an
sebagi kitab wahyu Allah memecahkan misteri-misteri kehidupan dan kematian
dengan cara yang tegas dan gamblang. Di samping Al-qur’an, ada sunnah, yakni
tradisi yang mencatat apa yang dikatakan tau diperbuat oleh Nabi, oleh karena
kehidupan Nabi itu merupakan contoh hidup dalam Al-qur’an, dan harus diterima
dengan keyakinan penuh akan kebenarannya dan biasanya diterapkan dalam
kehidupan. Di samping Al-qur’an dan sunnah, yang harus diterima tanpa syarat,
masih ada syari’at jalan kewajiban yang telah digariskan oleh Al-qur’an dan
dijelaskan secara lebih rinci oleh sunnah Nabi. Di samping Al-qur’an, sunnah,
syari’ah, ada ilm al-ladunny dan hikmah, yakni pengetahuan
kerohanian dan kebijaksanaan. Pengetahuan ini pun harus diterima tanpa kritik.
Persoalan-persoalan
itu, dan banyak lainnya, termasuk persoalan tentang sifat nubuat, menegenai
wahyu dan persoalan-persoalan lainnya yang sudah tidak asing lagi bagi para
penekun filsafat Islam, sangat menonjol dalam perdebatan di kalangan para
filsuf Muslim. Demikianlah, maka dengan menerima kerangaka keagamaan Islam,
seorang filsuf Muslim tidak dilarang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
serius, signifikan, dan sifatnya filosofis. Sementara filsuf Muslim bahkan
mempersoalkan eksistensi Allah. Dalam ceramah-ceramahnya mengenai The
Reconstruction of Religious Thougt in Islam, Alama Muhammad Iqbal mengkaji
argumen-argumen tradisional yang membenarkan adanya Allah, yang oleh para
filsuf Muslim, seperti juga para rekan mereka di Barat, telah dikemukakan di
masa lampau, seperti Kant. Ia pun sampai kepada kesimpulan bahwa
argumen-argumen itu tidak dapat diterima. Oleh sebab itu, ia menolak semuannya
dan kembali mengandalkan kepada pengalaman. Lalu ada Muhammad ibn Zakariyya
al-Razi (865-925) yang walaupun seorang ateis menolak nubuat dengan alasan
bahwa rasio sudah memadai untuk membedakan antara yang baik dan buruk, dan
bahwa rasio saja memungkinkan kit mengetahui Allah. Ia juga menolak
kemukjizatan Al-qur’an dan lebih mengutamakan buku-buku ilmiah di atas semua
kitab suci. Demikianlah agama, walaupun diwahyukan dan dalam beberapa hal
bersifat dogmatik, meninmbulkan persoalan-persoalan yang tidak dapat
dikesampingkan tanpa mengemukakan alasan-alasan pro-kontranya.
4. Filsafat Ilmu dan Objek Pembahasan Filsafat Ilmu
1. Pengertian Filsafat Ilmu
Kata
“filsafat” dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata piloshopia (latin),
philoshopy (Inggris), philoshopic (Jerman, Belanda, Prancis), Ifalsafah
(Arab). Istilah tersebut daari philein yang berarti
"mencintai”, sedangkan philos yang berarti “teman, kawan, sahabat”.
Selanjutnya istilah shopos yang berarti “bijaksana”. Sedangkan sophia
yang berarti “kebijaksanaan”. Filsafat adalah hasil akal seorang manusia
yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya. Dengan
kata lain, Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat
kebenaran segala sesuatu.[11]
Menurut
A.Cornelius Benjamin, Filsafat Ilmu adalah cabang pengetahuan filsafati yang
merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya,
konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka
umum cabang-cabang pengetahuan intelektual. Sedangkan Peter Caws mengatakan
bahwa Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi
ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia.
Menurut
Stephen R. Toulmin,
Sebagai suatu cabang ilmu,
filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam
proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola
perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan,
pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai
landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal,
metodologi praktis, dan metafisika.
2. Objek Kajian Filsafat Ilmu
a. Objek
Material
Objek
material adalah objake yang dijadikan sasaran penyelidikan oleh suatu ilmu atau
objek yang dipelajari oleh suatu ilmu itu. Objek material filsafat ilmu adalah
pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan ynag telah disusun secara sistematis
dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya secara umum.
b. Objek
Formal
Objek
formal adalah sudut pandang dari mana subjek menelaah objek materialnya. Objek
foral filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan, yang meliputi:
1. Landasan Ontolgis, yaitu filsafat
ilmu yang lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan,
seperti apa hakikat ilmu itu sesungguhnya?
2. Landasan Epistemologi,
yaitu problem yang membicarakan bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan yang
mana melalui kebenaran ilmiah?
3. Landasan Aksiologi, yaitu problem
yang membicarakan apa fungsi pengetahuan itu bagi manusia?
3. Metodologi Ilmu Agama Islam
1. Metode
Filosofis
Penggunaan metode ini
karena hubungan mnusia dengan Tuhan dibahas dalam filsafat, yakni dalam
pemikiran metafisis (pemikiran yang berhubungan dengan hal-hal non-fisik atau
tidak kelihatan) yang umum dan bebas.
2. Metode
Kosmologi
Metode ini untuk
mempelajari dan menyelidiki alam semesta sebagai sistem yang beraturan). Metode
kosmologi juga digunakan untuk meneliti manusia dan alam lingkungannya.
3. Metode
Sejarah, Sosiologi dan Antropologi
Yaitu
metode yang mempelajari ilmu tentang manusia
4. Metode
Doktriner
Biasanya digunakan oleh
Ulama Muslim. Metode doktriner adalah metode tanpa menghubungkannya dengan
kenyataan-kenyataan yang hidup di dalam masyarakat, berakibat penafsiran dan
fatwaynag mereka berikan tidak dapat diterapkan dalam masyarakat. Namun metode
ini menimbulkan kesan bahwa Islam ketinggalan zaman dan menghambat
kemajuan.
5. Metode
Sintesis
Metode ini merupakan
gabungan dari saintifik dan doktriner yang bertujuan untuk mencapai
hasil (pemahaman) yang terpadu dan terpakai.[12]
III.
KESIMPULAN
1. Ilmu dapat
didefinisikan sebagai rangkaian
aktivitas manusia yang rasional dan kognitif
dengan berbagai metode berupa aneka prosedur dan tata langkah sehingga
menghasilkan kumpulan pengetahuan yang sistematis mengenai gejala-gejala
kealaman, kemasyarakatan atau individu untuk tujuan mencapai kebenaran, memperoleh pemahaman, memberikan
penjelasan ataupun melakukan penerapan.
2. Ilmu
Agama Islam merupakan cabang dari ilmu pengetahuan yang meliputi satu sistem
akidah dan syari’ah serta akhlak yang mengatur hidup dan kehidupan manusia
dalam berbagai hubungan.
3. Filsafat
adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran
dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain, Filsafat adalah ilmu yang
mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
[1]
H. M. Rasjidi dan H.
Harifuddin Cawidu, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: PT.
Bulan Bintang, 1988), hlm. ix-x
[3]
Mundirin, Logika, (Jakarta:
Rajawali Press, 2009), hlm. 5
[4] R. Harre, The Philosophies of Science, an
Introductory Survey (London: The Oxford University Press,
1995), hlm. 62.
[6]
Jujun S. Suriasumantri, FILSAFAT
ILMU Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: PT. Total Grafika, 1982), hlm. 297
[7]
Mundirin, Op. cit, hlm.
7
[8]
H. Mohammad Daud Ali, Pendidikan
Agama Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1997), hlm. 50
[9]
C.
A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, penerj, Hasan
Basri, (Jakarta: Yayasan obor, 1989), hlm. 5-7
[11]
Fuad Ihsan, Filsafat
Ilmu, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm. 1 & 3
[12]
H. Muhammad Daud Ali, Op.
Cit, hlm. 86-87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar