I.
PENDAHULUAN
Pada akhir-akhir ini banyak muncul dan
tersebar fenomena aneh di sekitar kita. Semua itu adalah tiruan dari masyarakat
barat. Salah satu fenomena tersebut adalah adanya hadiah besar yang diberikan
bagi orang-orang yang mengikutinya. Para peserta lomba kupon sehargaa 10
dollar, 1000 dirham atau real ataupun mata uang lainnya. Kadang-kadang
seseorang membeli lebih dari satu kupon. Semakin banayak ia memebeli, maka
kesempatan akan semakin banyak peluang untuk memperoleh hadiahnya seperti mobil
Mercedez Benz, satu kilo emas, atau barang-barang berharga lainnya yang membuat
orang tertarik. Pada waktu tertentu, pemenang ditentukan dengaan cara
pengundian.
Pada zaman sekarang ini banyak di berbagai kalangan
masyarakat yang mengadakan perlombaan, baik itu lomba dalam rangka ulang tahun
sekolah, lomba tujuh belasan, dan lain-lain yang terkadang masih banyak
bertentangan dengan syari’at ajaran Islam. Untuk itulah untuk meluruskan
pengetahuan masyarakat mengenai bagaimana bentuk perlombaan yang sesuai dan
tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam makalah ini akan dijelaskan lebih
spesifik mengenai perlombaan apa saja yang diperbolehkan dalam syari’at Islam,
sistem perlombaannya, dan berbagai sumber dalil hukum yang terkait dengan
masalah tersebut.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A. Apa
Pengertian Perlombaan?
B. Apa
Saja Sumber Dalil Hukum berkaitan dengan Perlombaan?
C. Bagaimana
Ijtihad Ulama terkait Hukum Lomba dengan Pemungutan Uang?
III. PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Perlombaan
Perlombaan
dalam literatur Islam disebut dengan istilah “Ju’al” dan hukumnya boleh. Pada
hakikatnya praktek Ju’al (perlombaan) adalah seseorang mengumumkan kepada
khalayak bahwa siapa yang bisa menang dalam mengikuti perlombaan ini akan
diberi hadiah atau imbalan. Dan Ju’al ini berlaku untuk umum, siapa saja boleh
untuk mengikuti suatu perlombaan. Dengan dasar “Ju’al” ini maka undian atau
perlombaan diperbolehkan.[1]
A. Sumber Dalil Hukum berkaitan dengan Perlombaan
1.
Q. S. Al-Baqarah ayat 219
y7tRqè=t«ó¡o ÇÆtã ÌôJyø9$# ÎÅ£÷yJø9$#ur ( ö@è% !$yJÎgÏù ÖNøOÎ) ×Î72 ßìÏÿ»oYtBur
Ĩ$¨Z=Ï9 !$yJßgßJøOÎ)ur çt9ò2r& `ÏB $yJÎgÏèøÿ¯R 3 tRqè=t«ó¡our #s$tB tbqà)ÏÿZã
È@è% uqøÿyèø9$# 3 Ï9ºxx. ßûÎiüt7ã ª!$# ãNä3s9 ÏM»tFy$# öNà6¯=yès9 tbrã©3xÿtFs? ÇËÊÒÈ
Artinya:
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar[136] dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa
keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa
yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan."
Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir,”(Q. S. Al-Baqarah: 219)
Perjuadian
adalah jika ada salah satu pihak yang dirugikan. Dalam hal ini, ditemukan
ribuan atau puluhan bahkan jutaan manusia yang dirugikan sebagaimana dalam
undian yang bertaraf internsional (semua mengalami kerugian, dan yang beruntung
hanya satu orang).
Islam
mengharamkan perjudian karena perjudian akan membiasakan manusia dalam mencari
keuntungan tanpa mau melakukan usaha dan hanya menggantungkan nasib. Untuk
menjadi seorang yang kaya, mereka tidak mau berusaha dan tidak melalui jalan
yang sudah menjadi sunnatullah yang telah diketahui oleh manusia.[2]
2. QS.
Al-Maidah ayat 90
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä $yJ¯RÎ) ãôJsø:$# çÅ£øyJø9$#ur Ü>$|ÁRF{$#ur ãN»s9øF{$#ur
Ó§ô_Í ô`ÏiB È@yJtã Ç`»sÜø¤±9$# çnqç7Ï^tGô_$$sù öNä3ª=yès9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÒÉÈ
Artinya:
“Wahai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi (berkurban untuk
berhala, dan mengadu nasib dengan anak panah), adalah perbuatan keji dan
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu
beruntung.”(QS. Al-Maidah: 90)
Bentuk judi yang disepakati adalah
keluarnya taruhan dari dua pihak yang setara dan itulah yang dimaksud dengan al-maisir
(QS. Al-Maidah 90). Alasan keharamannya adalah, masing-masing dari kedua belah
pihak tersebut berkutat antara mengalahkan pihak lawan dan meraup (keuntungan).
Jika yang mengeluarkan taruhan hanya satu pihak dan boleh diambil jika ia kalah
ataupun sebaliknya jika ia menang, maka menurut pendapat yang sahih adalah
haram juga.[3]
B. Ijtihad Ulama terkait Hukum Lomba dengan Pemungutan
Uang
1. Bentuk
yang Diperbolehkan Syari’at
Bentuk yang diperbolehkan dan diterima
oleh syara’ adalah hadiah-hadiah yang disediakan untuk memotivasi dan mengajak
kepada peningkatan ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan amal shalih. Misalnya,
hadiah yang disediakan bagi pemenang dalam perlombaan menghafal Al-qur’an atau
hadiah yang disiapkan bagi yang berprestasi dalam studi. Bisa juga sumbanagan
dalam bidang keislaman, keilmuan, sastra, dan lain sebagainya. Asalkan,
berfungsi untuk memotivasi dalam persaingan yang diperbolehkan oleh syara’ dan
perlombaan dalam kebaikan.
Dalam hadits riwayat Ahmad dari Ibnu
Umar, disebutkan bahwa Nabi Muhammad pernah melaksanakan perlombaan balap kuda.
Kemudian nabi memberikan hadiah tertentu kepada para sahabat yang telah
berhasil melakukan pelayanan untuk Islam seperti yang diriwayatkan Bukhari dari
‘Urwah.
Bentuk hadiah seperti ini dalah disediakan
kepada orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Apabila ada orang yang
telah memenuhi syaarat sesuai dengan yang ssudah ditentukan oleh sebuah panitia
khusus, maka ia berhak mendapatkan hadiah tersebut. Hadiah seperti ini
diperbolehkan dan tidak ada perdebatan mengenai hukumya.[4]
2. Bentuk
yang Diharamkan Tanpa Adanya Perselisihan
Bentuk
yang tidak diragukan keharamannya adalah jika orang yang membeli kupon dengan
harga tertentu, banyak atau sedikit, tanpa ada gantinya melainkan hanya untuk
ikut serta dalam memperoleh hadiah yang disediakan berupa mobil, emas, atau
lainnya. Bahkan, hal seperti itu termasuk larangan serius (bagi yang
melakukannya dianggap telah melakukan dosa besar). Karena termasuk perbuatan
judi yang dirangkaikan dengan khamr dalam Al-qur’an. Perbuatan ini merupakan
perbuatan keji
Bentuk
perlombaan seperti contoh di atas juga tidak sah. Musabaqah seperti ini
dianggap sebagai perlombaan yang fasid (rusak). Karena menyerupai dengan
perjudian.[5]
Dikatakan sebagai perjudian sebab setiap peserta membayar sejumlah uang. Barang
siap yang berusaha, lalu menang. Maka dia akan mengambil uang yang dia bayarkan
beserta tambahannya. Barang siapa yang tidak menang, dia akan rugi atas apa
yang telah dibayarkannya. Model seperti ini adalah inti dari perjudian (qimar)
itu sendiri. Sebab bentuk perjudian adalah seperti dua orang atau lebih saling
berlomba dan setiap orang yang mengikuti perlombaan itu harus mengeluarkan
sejumlah uang atau barang sebagai ganti atau biaya pendaftaran. Nah, inilah bentuk
perjudian. Setiap orang dari mereka tidak akan dapat mengelak dari memperoleh
hadiah (kemenangan) atau membayar denda (karena kalah) dan ini diharamkan.
Adapun
dalil diharamkannya perjudian seperti itu juga terdapat dalam kitab
a.
Al-Bajuri ‘ala Fathil Qarib juz II, hlm. 31
وَإْنِ أَخْرَجَاهُ
أَيِ الْعِوَضِ المُتَسَابِقَانِ مَعَالَمْ يَجُزْ ... وَهُوَ أَيِ الْقَمَارُ
الْمُحَرَّمُ
كُلُّ لَعْبٍ
تَرَدَّدَ بَيْنَ غَنَمِ وَغَرَمٍ. (الباجوري على فتح القريب )2/31(
“Dan jika kedua pihak yang berlomba itu
mengeluarkan taruhan secara serentak, maka tidak boleh. Dan itu termasuk judi
yang diharamkan, yakni semua permainan yang berkutat antara meraup (memperoleh)
dan nihil (tidak memperoleh sama sekali),”[6]
b. Is’adur Rafiq Syarah Sullamut Taufiq
juz II, hlm. 102
(كُلُّ مَا فِيْهِ قِمَارٌ) وَصُوْرَتُهُ الْمُجْمَعُ
عَلَيْهَا أَنْ يَخْرُجَ الْعِوَضُ مِنَ الْجَانَبِيْنَ
مَعَ تَكَافُئِهِمَا،وَهُوَ الْمُرَادُ مِنَ الْمَيْسِـرِ
فىِ اْلآيَةِ. وَوَجْهُ حُـرْمَتِهِ أَنْ كُلَّ وَاحِدٍ
مُتَرَدِّدٌ بَيْنَ أَنْ يَغْلِبَ صَاحِبَهُ
فَيَغْنَمَ فَإِنْ يَنْفَرِدْ اللاَّعِبَانِ بِإِخْرَاجِ الْعِـوَضِ لِيَأْخُذَ
مِنْهُ إِنْ كَانَ مَغْلُوْبًا وَعَكْسُهُ
إِنْ كَانَ غَالِبًا فَاْلأَصَحُ حُرْمَتُهُ اَيْضًا
﴿ اسعاد الرفيق
شرح سلم التوفيق ٢/١۰٢﴾
“Bentuk judi yang
disepakati adalah keluarnya taruhan dari dua pihak yang setara dan itulah yang
dimaksud dengan al-maisir. Alasan keharamannya adalah masing-masing dari kedua
belah pihak tersebut berkutat antara mengalahkan pihak lawan dan meraup
(keuntungan). Jika yang mengeluarkan taruhan hanya satu pihak boleh diambil,
jika ia kalah ataupun sebaliknya jika ia menang, maka menurut pendapat yang
shahih adalah haram juga.”
Jadi,
perjudian itu adalah jika ada dua orang atau lebih yang saling berlomba, lalu
setiap peserta lomba tersebut mengeluarkan sesuatu sebagai gantinya sebagaimana
yang telah kami sebutkan.
Ada
beberapa cara yang dapat kita gunakan untuk mengeluarkan suatu perlombaan
darimkategori menyerupai perjudian:
a. Hendaknya
hadiah itu dari satu orang saja seperti dari penguasa atau yang lainnya. Barang
siapa yang mengadakan perlombaan lalu menjelaskan bahwa yang menang akan
memperoleh hadiah ini atau hadiah tersebut diambil dari Baitul Mal kaum
muslimin maka itu dibolehkan. Karena dalm perlombaan ini mengandung dorongan
untuk melakukan jihad. Maka dari itu perlombaan ini dibolehkan dan sah.
Dalam kitab “Al-Bajuri
“ala fathil Qarib juz II, hlm. 10
وَيَجُوْزُ شَرْطُ
الْعِوَضِ مِنْ غَيْرِ الْمُتَسَابِقَيْنِ مِنَ اْلإِمَامِ أَوِ اْلأَجْنَبِىِّ
وَكَأَنْ يَقُوْلَ
اْلإِمَامُ مَنْ
سَبَقَ مِنْكُمَا فَلَهُ عَلَيَّ كَذَا مِنْ مَالِيْ، أَوْ فَلَهُ فِى بَيْتِ
الْمَالِ كَذَا،
وَكَأَنْ يَقُوْلَ
اْلأَجَنَبِىُّ: مَنْ سَبَقَ مِنْكُمَا فَلَهُ عَلَىَّ كَذَا، لأَنَّهُ بَذْلُ
مَالٍ فِى طَاعَةٍ
وَلَيْسَ لِمُلْتَزِمِ الْعِوَضِ. (البجوى على
فتح القريب)
2/10(
“Dan syarat adanya taruhan yang dikeluarkan
bukan oleh pihak yang berlomba, seperti
imam / penguasa itu berkata, siapa yang keluar sebagai pemenang dari kalian.
Maka aku akan memeberikan sekian dari uangku, atau memproleh sejumlah sekian
dari uangku, atau memperoleh sejumlah sekian dari kas negara. Demikian halnya
seperti seandainya pihak lain tersebut berkata, siapa yang keluar sebagai
pemenang dari kalian, maka aku akan memberikan uang sejumlah sekian.”
Hal
ini, karena uang yang akan diberikan itu merupakan uang pemberian dalam
ketaatan dan pihak penerima bukan yang harus mengeluarkan taruhan.[7]
b. Dua
orang atau lebih ikut serta dalam suatu perlombaan. Lalu sebagian peserta itu
membayar sejumlah uang dan sebagian lagi tidak. Maka, perlombaan seperti ini
dibolehkan. Namun jika semua peserta membayar uang maka ini akan menyerupai
perjudian.
c. Ada
peserta baru yang masuk untuk mengikuti perlombaan, namun dengan syarat peserta
baru itu tidak membayar apapun. Peserta baru itu dinamakan ulama sebagai muhallilain
(yang menghalalkan). Selain syarat itu, ada syarat lain, yaitu hadiah tersebut
harus diberikan kepada sang pemenang walaupun yang menang itu adalah
muhallil. Namun, tidak semua orang bisa menjadi muhallil, ada beberapa
syarat bagi peserta baru (muhallil), antara lain:
1. Muhallil ini tidak membayar
seperserpun untuk hadiah ini.
2. Muhallil itu harus satu orang
saja tidak boleh lebih.
3. Hendaknya
kendaraan yang dinaiki muhallil itu harus sebanding dengan kendaraan
peserta lain. Dengan demikian, kesempatan muhallil untuk menang itu sama
dengan peserta lainnya.
4. Hendaknya
lemparan muhallil dan lemparan peserta lainnya sebanding. Maka dari itu, tidak
sah jika para pesertanya adalah laki-laki dewasa semua, sedangkan muhallilnya
adalah anak kecil.
Adapun
motif dijadikannya muhallil adalah untuk mengeluarkan suatu masalah
(perlombaan) agar tidak menyerupai perjudian. Sebab jika setiap dua orang
peserta atau lebih membayar uang, setiap peserta akan mengharapkan dapat
memproleh keuntungan dan khawatir mengalami kerugian, dan inilah memang keadaan
para penjudi. Namun, jika ada salah seorang masuk diantara mereka berdua untuk
ikut serta dalam perlombaan, di mana orang yang baru masuk itu tidak membayar
taruhan sedikitpun, bentuk perlombaan seperti ini akan jauh dari bentuk
perjudian.
Adapun
solusi yang ditawarkan untuk penyelenggaraan lomba berhadiah, antara lain:
i.
Uang pendaftaran
tidak menjadi hadiah.
ii.
Hadiah diperoleh
dari sumber lain (sponsor).
iii.
Jenis yang
dilombakan tidak termasuk dalam larangan syari’at seperti keterampilan dalam
perang, jalan cepat, memanah, menembak, balap kuda dan lain-lain.[8]
IV.
ANALISIS
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa bentuk
perlombaan dengan adanya pemungutan uang kepada peserta lomba, yang mana dari
hasil pungutan uang tersebut digunakan untuk anggaran hadiah. Hal ini diqiyaskan
dengan perbuatan judi. Karena kedua hal tersebut memiliki persamaan, yakni
semua peserta mengumpulkan uang ataupun sejenisnya untuk taruhan yang kemudian
pemenangnya yang berhasil mendapatkan hasil taruhan tersebut. Hal ini tentu
sangat merugikan peserta yang lain yang tidak menang. Hal inilah yang
menyebabkan bentuk perlombaan tersebut tidak diperbolehkan. Adapun perlombaan
dengan pertaruhan diperbolehkan dengan syarat taruhan yang dikeluarkan bukan
oleh pihak yang berlomba, seperti imam (penguasa) ataupun pihak lain.
Untuk menghindari terjebaknya dari jenis lomba
seperti ini, jika ingin mengikuti suatu jenis lomba hendaknya melihat dari mana
pihak/ instansi terkait yang mengadakan
lomba, apakah pihak/ instansi tersebut resmi dan sudah mendapat persetujuan
mengadakan perlombaan. Tak lupa kita juga melihat prosedur dan persyaratan
pendaftaran. Jika lomba tersebut meminta adanya pemungutan iuran untuk hadiah,
maka tidak usah diikuti. Adapun iuran yang diperbolehkan adalah jika iuran
tersebut tidak sepenuhnya digunakan untuk anggaran hadiah.
V.
KESIMPULAN
Pemungutan uang dalam perlombaan hukumnya adalah
haram, karena bentuk perlombaan seperti ini sama saja dengan Qimar (judi).
Perlombaan seperti ini juga dapat merugikan sebagian pihak yang ikut serta
dalam perlombaan karena hasil iurannya diberikan kepada beberapa orang saja,
yakni pemenang. Apabila perlombaan tersebuts dengan menyertakan salah
seorang peserta yang tidak dipungut biaya maka hukumnya boleh, artinya dengan
adanya Muhallil (peserta yang tidak dipungut biaya).
DAFTAR
PUSTAKA
Abd al-Muqtadir,Ibrahim bin Fathi, Tahdzir
al-Kiram min Mi’ah Bab min Abwab al-Haram, penerj. Ahmad al-Khatib, dkk, Uang
Haram, (Jakarta: Amzah, 2006).
al-Qaradhawi, Yusuf, Fatwa-fatwa
Kotemporer jilid 3, penerj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema
Insani Press, 2002).
Mirri, H. M. Djamaluddin, AHKAMUL
FUQAHA, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan
Kombes Nahdlatul Ulama, (Jawa Timur: Lajnah Ta’lif wan Nasyr, 2007).
Shihab, M.
Quraish, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002).
http:// elfadhi. Wordpress. Com/
Ilmu-ilmu Islam di Jalan yang Benar/ Memberikan Kecerahan dalam Kehidupan/ 03/
11/ 2011.
http:// infopesantren. Web. id/ ppssnh.
malang/ cgibin/ content. cgi/ masail/ muktamar/ kediri 1999/ 08. Single.
[1] http:// elfadhi.
Wordpress. Com/ Ilmu-ilmu Islam di Jalan yang Benar/ Memberikan Kecerahan dalam
Kehidupan/ 03/ 11/ 2011
[2] Yusuf al-Qaradhawi, Fatwa-fatwa Kotemporer jilid 3, penerj.
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 500
[5] Ibrahim bin Fathi bin Abd al-Muqtadir, Tahdzir al-Kiram min Mi’ah Bab
min Abwab al-Haram, penerj. Ahmad al-Khatib, dkk, Uang Haram,
(Jakarta: Amzah, 2006), hlm. 350
[6] H. M. Djamaluddin Mirri, AHKAMUL FUQAHA, Solusi Problematika Aktual
Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Kombes Nahdlatul Ulama, (Jawa
Timur: Lajnah Ta’lif wan Nasyr, 2007), hlm. 548
[8] http://
infopesantren. Web. id/ ppssnh. malang/ cgibin/ content. cgi/ masail/ muktamar/
kediri 1999/ 08. single
Saya ingin bertanya sebagai berikut;
BalasHapusBagaimana hukumnya mengikuti perlombaan (katakanlah lomba Tujuhbelasan) dimana hadiah lomba berasal dari kas RT dan iuran wajib tiap kepala keluarga?