Senin, 02 April 2012

HADITS TENTANG BERWIRAUSAHA




I.       PENDAHULUAN
Islam mengajarkan umatnya agar bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Bekerja disini bisa juga dilakukan dengan cara berwirausaha, bisa berupa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri ataupun bekerja pada orang lain. Dalam   berwirausaha diperlukan sikap atau etika berwirausaha yang sesuai dengan syariat Islam. Hal ini dilakukan agar usaha yang kita lakukan membuahkan hasil yang maksimal dan mendapat berkah dari Allah walaupun hasilnya itu sedikit tetapi kalau itu berkah maka akan menjadi kebahagiaan tersendiri bagi si pencari usaha atau orang yang berwirausaha.
Untuk mengetahui hal yang berkaitan dengan berwirausaha maka dibawah ini akan sedikit dijelaskan mengenai hal tersebut.
II.    RUMUSAN MASALAH
A.    Apa Pengertian Berwirausaha?
B.     Bagaimana Pandangan Islam tentang Berwirausaha?
C.     Bagaimana Etika Muslim dalam Berwirausaha?
D.    Bagaimana Menyelaraskan Berwirausaha di Dunia dengan Kehidupan Akhirat?
III. PEMBAHASAN
A.    Pengertian Berwirausaha
Peter F. Drucker mengatakan bahwa berwirausaha merupakan kemampuan dalam menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda-beda. Pengertian ini mengandung maksud bahwa berwirausaha adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang berbeda dari yang lain, atau mampu menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya.



Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ عَاصِمْ بْنِ عُبَيْدِ الله عَنْ سَالِمْ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ للهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْمُحْتَرِفَ (أخرجه البيهقى)[1]
Dari ‘Ashim Ibn ‘Ubaidillah dari Salim dari ayahnya, Ia berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: “Sesungguhnya Allah menykai orang mukmin yang berkarya.”(H. R. Al-Baihaqi).[2]
Berdasarkan hadits di atas dapat disebutkan bahwa berwirausaha merupakan kemampuan dalam hal menciptakan kegiatan usaha. Kemampuan menciptakan memerlukan adanya kreativitas dan inovasi.
Kreatifitas adalah mampu menangkap dan menciptakan peluang-peluang bisnis yang bisa dikembangkan. Di tengah persaingan bisnis yang ketat sekalipun seorang wirausaha tetap mampu menangkap dan menciptakan peluang baru untuk berbisnis, sehingga ia tidak pernah khawatir kehabisan lahan. Sedangkan inovasi adalah mampu melakukan pembaruan-pembaruan dalam menangani bisnis yang digelutinya, sehingga bisnis yang dilakukannya tidak pernah usang dan selalu dapat mengikuti perkembangan zaman. Sifat inovatif ini akan mendorong bangkitnya kembali kegairahan untuk meraih kemajuan dalam berbisnis.[3]
Jadi orang yang berkarya akan memberikan kontribusi bagi masyarakat banyak dengan kreatifitas dan inovasinya untuk menemukan sesuatu yang berbeda dari yang sudah ada sebelumnya.
Contoh dari “al-mukmin al-muhtarif”  ditampakkan oleh generasi sahabat Rasulullah saw. dan para imam. Abdurrahman bin Auf, melalui kelihaiannya membaca peluang yang ada, bahkan berhasil menyingkirkan peran para pengusaha Yahudi sebagai pelaku ekonomi utama di Madinah saat itu. Utsman bin Affan dengan usaha dagangnya (bahan pakaian) membesar hingga menjadi sebuah konglomerasi usaha yang membawa banyak kebaikan bagi umat Islam di madinah. Imam Abu Hanifah, selain sibuk mengurus umat dan menjaga syariat juga seorang pedagang bahan pakaian yang amat jujur dan berhasil.[4] Sedangkan pada zaman sekarang banyak para pengusaha-pengusaha yang telah sukses. Misalnya, Lucy Gani Wijaya. Bermula dari keinginan mendapatkan uang saku kuliah pada tahun 1995. Dengan bendera Malioboro Craft, ia membangun usaha kerajinan tangan: tas tangan, dompet, hingga wadah bolpoin berbahan baku recycled paper. Produknya kini telah menembus pasar Eropa dengan sales representatif-nya di Stuttgart (Jerman), Darwin (Australia), dan Ottawa (Kanada). Showroomnya di jalan Demakan Baru 79 Tegalrejo, Yogyakarta.[5] 
B.     Pandangan Islam tentang Berwirausaha
Setiap manusia memerlukan harta dan kekayaan yang sekecil apapun untuk mencukupi berbagai kebutuhannya. Karena hal itu, akhirnya manusia selalu berusaha untuk mendapatkan apa yang ia harapkan, dan salah satunya adalah harta kekayaan, manusia berlomba-lomba bekerja untuk mencukupi kebutuhannya. Oleh karena itu Islam kemudian mewajibkan kepada umatnya untuk senantiasa bekerja dalam memenuhi segala kebutuhan hidup mereka.
Dalam hal mencari nafkah, umat Islam dituntut mencari karunia yang telah diturunkan oleh Allah di muka bumi ini. Karena di alam raya ini Allah telah menyediakan berbagai kebutuhan manusia untuk kehidupan mereka.[6] Sesungguhnya Allah telah melapangkan bumi dan menyediakan fasilitas, agar manusia dapat berusaha mencari sebagian dari rizki yang disediakan-Nya bagi keperluan manusia. Sebagaimana yang telah  dijelaskan Allah melalui firman-Nya:
ôs)s9ur öNà6»¨Z©3tB Îû ÇÚöF{$# $uZù=yèy_ur öNä3s9 $pkŽÏù |·ÍŠ»yètB 3 WxÎ=s% $¨B tbrãä3ô±s? ÇÊÉÈ
“Dan sungguh Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” (Q. S. Al-A’raf: 10).[7]
Berkenaan dengan itu, maka kesempatan yang ada tidak patut disia-siakan, melainkan harus dipergunakan dalam berusaha untuk kepentingan dunia, di samping persiapan untuk hari akhirat. Bumi yang terhampar luas patut diterima sebagai rahmat dari Allah dengan jalan memakmurkannya dan berusaha diatasnya.[8] Firman Allah:
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
“Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”(Q.S. al-Jumu’ah: 10).
Ayat diatas jelas memberikan satu anjuran agar umat Islam bekerja mencari karunia Allah di dunia, namun hal itu juga harus dibarengi dengan niat bahwa semua yang dilakukan oleh manusia harus dilandasi dengan selalu ingat (berdzikir) kepada Allah, agar apa yang mereka lakukan senantiasa mendatangkan keuntungan, baik berupa keuntungan materi maupun keuntungan mendapatkan ridho dan pahala dari Allah SWT.
Allah memberikan kemudahan kepada manusia untuk memakmurkan bumi. Allah menyeru manusia untuk berkecimpung di dunia ekonomi, bekerja dan berusaha dengan sungguh-sungguh sehingga menjadi anggota yang bekerja dalam sebuah masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri maupun orang lain.
Sementara itu Rasulullah Muhammad SAW memberikan tuntunan, bahwa salah satu cara yang paling baik dan utama untuk mencukupi kebutuhan hidup adalah lewat hasil pekerjaan dan usaha sendiri.
Hal itu sebagaimana sabda beliau:
عَنْ الْمِقْدَامِ رَ ضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَ إِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمِ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ (أخرجه البخري).[9]
Dari Miqdam ra. Dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: Seseorang yang makan dari hasil usahanya sendiri, itu lebih baik. Sesungguhnya Nabi Daud as makan dari hasil usahanya sendiri.” (H. R. Al-Bukhori).[10]
Hadits diatas menunjukkan bahwa bekerja atau berusaha merupakan perbuatan yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Dalam Islam bekerja bukan sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari tetapi juga untuk memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi. Karenanya dalam Islam bekerja menempati posisi yang teramat mulia. Islam sangat menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri. Orang yang bekerja/berusaha untuk mendapatkan penghasilan dengan tangannya sendiri baik untuk mencukupi kebutuhannya sendiri maupun keluarga dalam Islam orang seperti ini dikategorikan jihad fi sabilillah. Seperti yang dicontohkan oleh Nabi Dawud (salah satu pengrajin daun kurma untuk di buat keranjang atau lainnya). Dalam hadits yang diriwayatkan Hakim, Nabi Dawud juga dikenal sebagai pembuat besi. Nabi Idris (penjahit yang selalu menyedekahkan kelebihan dari hasil usahanya setelah digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat sederhana). Nabi Zakariya dikenal sebagai tukang kayu. Adapun Nabi Musa adalah seorang penggembala.[11]
Orang yang beriman dilarang bersikap malas, berpangku tangan, dan menunggu keajaiban datang menghampirinya tanpa adanya usaha. Allah menciptakan alam beserta isinya diperuntukkan bagi manusia, namun untuk memperoleh manfaat dari alam ini, manusia harus berusaha dan bekerja keras.
Bekerja bagi setiap orang merupakan satu kebutuhan, tidak hanya sekedar kewajiban. Hal itu dikarenakan salah satu fitrah yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah bekerja. Bekerja merupakan salah satu upaya setiap manusia dalam rangka memenuhi dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Bekerja menurut Islam merupakan salah satu ajaran terpenting yang harus dilakukan oleh setiap Muslim. Bekerja sebagai sarana mencukupi kehidupan hidup dalam pandangan Islam dinilai sebagai ibadah, yang disamping hal itu dapat mendatangkan keuntungan berupa materi sebagai hasil secara fisik, maupun akan mendapatkan keuntungan berupa pahala.
Dengan adanya anjuran untuk bekerja, menjadikan setiap umat Islam harus mencari pekerjaan sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki. Jalan mendapatkan pekerjaan adalah bermacam-macam, namun yang terpenting adalah pekerjaan tersebut harus halal dan sesuai dengan landasan syari’ah Islam. Hal itu harus menjadi pegangan bagi setiap umat Islam dalam menjalani pekerjaan yang ia geluti. Tanpa hal itu, maka apa yang dilakukan akan terasa sia-sia dan tidak akan barokah. Dan tentunya jika bekerja tidak dilandasi dengan semangat keimanan dan ketaqwaan maka yang akan didapat adalah kebahagiaan yang semu.[12]
Bekerja keras merupakan esensi dari kewirausahaan. Prinsip kerja keras, menurut Wafiduddin, adalah suatu langkah nyata yang dapat menghasilkan kesuksesan (rezeki), tetapi harus melalui proses yang penuh dengan tantangan. Dengan kata lain, orang yang berani melewati resiko akan memperoleh peluang rizki yang besar.
C.    Etika Muslim dalam Berwirausaha
Dalam pemikiran Islam, etika dipahami sebagai al-akhlaq atau al-adab yang mempunyai tujuan untuk mendidik moralitas para manusia. Akhlak menempati posisi puncak dalam rancang bangun ekonomi Islam, karena inilah yang menjadi tujuan Islam dan dakwah para nabi, yaitu menyempurnakan akhlak.
Beberapa akhlak dasar (etika) seorang muslim dalam berwirausaha diantaranya:
1.      Jujur
Jujur adalah suatu perilaku yang diikuti oleh sikap tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya tersebut atau integritas. Kejujuran dengan integritas tidak dapat dipisahkan, karena jika jujur tetapi tidak punya integritas berarti tidak dapat diandalkan, sedangkan mempunyai integritas tetapi tidak jujur maka diragukan. Akan tetapi jika jujur dan mempunyai integritas maka dirinya akan dijadikan sebagai panutan.[13]
Dalam mengembangkan harta seorang wirausaha harus menjunjung tinggi kejujuran, karena kejujuran merupakan akhlak utama yang merupakan sarana yang dapat memperbaiki kinerja bisnisnya, menghapus dosa dan bahkan dapat mengantarkannya masuk ke dalam surga, sebagaimana firman Allah SWT berikut:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#qä9qè%ur Zwöqs% #YƒÏy ÇÐÉÈ ôxÎ=óÁムöNä3s9 ö/ä3n=»yJôãr&
  öÏÿøótƒur öNä3s9 öNä3t/qçRèŒ 3 `tBur ÆìÏÜム©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù y$sù #·öqsù $¸JŠÏàtã ÇÐÊÈ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (Q. S. Al-Ahzab: 70-71).[14]
2.      Menepati Janji
Pengusaha dituntut untuk selalu menepati janji, misalnya dalam pembayaran, pengiriman barang atau penggantian. Sekali pengusaha ingkar janji, hilanglah kepercyaan pihak lain terhadapnya. Pengusaha juga harus konsisten terhadap apa yang telah dibuat dan telah disepakati sebelumnya.[15] Dalam Islam ingkar janji termasuk salah satu tanda orang munafik. Sebagaimana Hadits Rasulullah SAW :
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّّمَ قَالَ: آيَةُ الْمُنَا فِقِ ثََلاَ ثٌ: إِذَا حَدَ ثَ كَذَبَ, وَإِذَا وَعَدَ اَخْلَفَ, وإِذَااؤْ تُمِنَ خَانَ

“Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu; Bila berkata ia dusta, bila berjanji ia ingkar dan bila dipercaya ia khianat. (H. R. Bukhori dan Muslim).[16]
3.      Disiplin
Erat kaitannya dengan konsisten adalah sikap berdisiplin (Latin: disciple, discipulus, murid mengikuti dengan taat), yaitu kemempuan untuk mengendalikan diri dengan tenang dan tetap taat walaupun dalam situasi yang sangat menekan.[17]
4.      Tangguh dan pantang menyerah
Seorang pengusaha harus mempunyai sikap tangguh dalam bekerja dan pantang menyerah dalam menghadapi tantangan arus. Kalau tidak maka kita akan dikalahkan oleh pengusaha lain sehingga perusahaan yang sudah lama dibangun bisa mengalami kebangkrutan.
5.      Kreatif
Pribadi muslim yang kreatif selalu ingin mencoba mencari gagasan baru yang asli (Original) sehingga hasil kinerja yang diharapkan dapat dilaksanakan secara efektif. Seorang yang kreatif bekerja dengan informasi, data dan mengolahnya sedemikian rupa sehingga memberikan hasil atau manfaat yang besar.
D.    Menyelaraskan Berwirausaha di Dunia dengan Kehidupan Akhirat
Dunia ini tercipta bukan tidak ada artinya bagi manusia dalam mencapai kehidupaan bahagia di akhirat. Orang-orang yang hanya memanfaatkan kekayaan dunia untuk kesenangan belaka adalah golongan orang-orang yang lalai ke akhirat. Mereka lalai kalau kehadirannya di dunia sebagai rangkaian perjalanan menuju akhirat.[18] Bagi orang yang beriman dan sabar bahwa dunia pada akhirnya akan rusak, ia akan menjadikan dunia ini sebagai kebun akhirat, dengan menjalankan berbagai macam kegiatan ibadah. Ibadah itu meliputi seluruh kehidupan yang digeluti manusia setiap hari, mulai dari bangun tidur pagi hari hingga tidur kembali pada malam hari. Seluruh waktu itu merupakan lapangan ibadah yang tidak ada habisnya. Orang yang mengerti akan hal ini tentu tidak akan membuang percuma waku dan pekerjaannya tanpa harapan memperoleh pahala. Kalau dikatakan dunia ini merupakan kebun akhirat, berarti kesempatan yang sangat besar bagi manusia untuk memperoleh pahala sebanyak-banyaknya.
Supaya dunia ini merupakan kebun akhirat, maka hendaklah dunia ini selalu diisi dengan amal kebaikan atau amal shalih. Artinya semua yang kita kerjakan setiap hari jangan disia-siakan begitu saja, melainkan harus dijadikan sebagai ibadah. Demikian seterusnya hingga semua amal yang kita kerjakan ini sebenarnya adalah ibadah kalau memang kita dapat memanfaatkannya. Salah satunya yaitu, bekerja untuk mencari kekayaan. Hal ini dapat juga mendatangkan pahala apabila waktu bekerja kita berniat yang baik untuk mencari keridhaan Allah. Islam sangat menganjurkan bekerja, dengan menegaskan mencari rezeki sebagai sedekah dan sarana ibadah. Apabila Islam menyeru untuk bekerja, maka Islam membiarkan seseorang bebas mencari pekerjaan yang diinginkan, dikuasai dan mudah baginya.[19]
Ada sebagian Ulama yang menganjurkan atau bahkan memerintahkan kita meninggalkan masalah keduniaan untuk tekun menghadapi kehidupan di akhirat. Ada juga sebagian Ulama lain yang bersifat netral, yaitu memperhatikan dunia dan akhiratnya secara seimbang.[20]
Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ اَنَسِ ابْنِ مَالِك قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمْ: لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لآِخِرَتَهُ وَلاَ آخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ حَتىَّ يُصِيْبَ مِنْهُمَا جَمِيْعًا فَإنَّ الدُّنْيَا بَلاَغٌ اِلَى اْلآخِرَةِ وَلاَ تَكُوْنُوْا كَلاًّ عَلَى النَّاسِ ﴿ رواه الديلمى وابن عساكر عن انس ﴾

Dari Anas Ibn Malik, ia berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: “Tidak ada kebaikan bagi kalian orang yang meninggalkan dunianya untuk akhiratnya, dan orang yang meninggalkan akhiratnya untuk dunianya saja sehingga dia memperoleh keduanya secara bersamaan. Karena sesungguhnya dunia itu yang menyampaikan ke akhirat. Dan janganlah kalian membuta penat (menyusahkan) atas manusia.” (HR. Dailami dan Ibnu Assakir dari Anas).[21]

Dari hadits di atas dijelaskan bahwa tidak akan mendatangkan orang yang hidup hanya mementingkan dunianya saja tanpa memperhatikan kepentingan akhirat, sepreti pada kata “Tidak ada kebaikan bagi kalian orang yang meninggalkan dunianya untuk akhiratnya,” sebaliknya tidak juga harus terlalu mementingkan kehidupan akhirat lalu mengabaikan urusan dunianya, seperti pada ungkapan hadits “orang yang meninggalkan akhiratnya untuk dunianyasaja sehingga dia memperoleh keduanya secara bersamaan.” Jadi kehidupan yang baik adalah kehidupan yang mencakup keduanya, yakni keseimbangan dan keselarasan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Karena kehidupan dunia merupakan bekal kehidupan kita di akhirat kelak. Jika di dunia kita hiasi dengan perbuatan yamg mulia, tentu hal ininakan menjadi jembatan emas untuk kehidupan ahirat.    
Menurut Hamka al-Maghfurlah, pembagian manusia dalam menghadapi dunia ada 3 golongan, anatara lain:
1.      Orang yang hanya memikirkan harta, tidak insaf akan hari tua, tidak insaf akan hari akhirat, sehingga hartanya tidak dijadikan bekal. Ada juga mereka ingat akan hari tua, tetapi semata-mata ingat saja, selalu mengeluh. Kalau mereka mendengar seorang guru menerangkan pelajaran akhirat, bahaya harta, dan lain-lain, waktu itu mereka hanya manggut-manggut, terasa betul olehnya. Tetapi bilamana habis mendengar pengajaran tadi, mereka kembali pula pada kelalainya.
2.      Orang yang berpaling dari dunia dan hrta sama aekali, tidak peduli, bahkan benci. Mereka lupakan dan tidak pedulikan, karena mereka hanya mengingat amal ibadat. Golongan ini disebut orang-orang Nussak (zuhud, benci dunia, dan lain-lain).
3.      Orang pertengahan, yaitu orang yang membayar hk dunia dan membayar hak akhirat. Diambilnya harta dunia sepuas-puasnya, digunakannya untuk menyokong amalnya menempuh akhirat. Karena dia berkeyakinan bahwa amal ibadah itu tidaklah dengan menekur-nekur saja, tetapi dengan membantu dan menolong sesama hamba Allah. Sebab di zaman sekarang, semua tidak akan tercapai kalau bukan dengan harta benda.[22]
Kita hidup tidaklah semata untuk diri sendiri, tetapi kita hidup dan bekerja pada hakikatnya untuk kepentingan bersama atau demi orang lain. Bila semakin bermanfaat diri kita bagi orang lain, maka akan bertambah baiklah nilai kehidupan kita sebagai hamba Allah. Karena itu, selayaknya bila kita hidup untuk selalu berusaha memberikan keuntungan bagi orang lain, bekerja untuk membantu, memberi dan melayani orang lain.
Memberikan layanan yang baik kepada orang lain merupakan salah satu bentuk pengabdian dan pelayanan kita terhdap kehendak Allah. Selain itu, kita dapat melakukan kegiatan bekerja dengan baik, dan perlu kita yakini bahwa kebahagiaan yang sebenarnya justru berada pada sikap memberi, bukan pada saat menerima pemberian.[23]
IV. KESIMPULAN
Berwirausaha adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang berbeda dari yang lain, atau mampu menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya. Bekerja merupakan salah satu kewajiban bagi setiap Muslim, dan lebih dari itu orang-orang yang senantiasa mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa menggantungkan kepada orang lain (dari usaha/keringat sendiri) merupakan sebagian dari manusia-manusia yang utama.
Dalam hal ini berwirausaha harus disertai dengan etika Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, diantaranya yaitu jujur, menepati janji, disiplin, tangguh dan pantang menyerah serta kreatif sehingga perusahaan yang dipimpin dapat berjalan dengan lancar. Kita tahu bahwa kita bekerja bukan hanya semata-mata untuk kepentingan pribadi akan tetapi untuk kepentingan bersama dan juga untuk kepentingan di dunia serta di akhirat nanti, karena semua yang ada di dunia sekarang ini adalah bekal untuk akhirat. Jadi alangkah baiknya kita menyeimbangkan atau menyelaraskan antara dunia dan akhirat salah satunya dengan menerapkan etika Islam dalam berwirausaha.

DAFTAR PUSTAKA
Abi Bakar Ahmad Ibn Husein Al-Baihaqi, Al-Imam, Syu’bul Iman juz. 2, Beirut: Ad-darul Kutubul Ilmiah, tt.
Abu Zahrah, Muhammad,  Membangun Masyarakat Islam,  Pustak Firdaus, 1965.
Abu Zakaria Yahya bi Syaraf an-Nawawi, Imam,  Terjemah Riyadhus Shalihin, jilid. 1, Terj. Achmad Sunarto, Jakarta: Pustaka Amani, 1999.
Al-Qur’anul Al-Karim dan Terjemah Bahasa Indonesia, Kudus: Menara Kudus, 2006.
Arifin, Johan, Etika Bisnis Islami, Semarang: Walisongo Press, 2009.
 Faiz Al-Math, Muhammad, 1100 Hadits Terpilih, Jakarta: Gema Insani Press, 1991.
Fattah, H. Abdul,  kehidupan Manusia di Tengah-tengah Alam Materi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995.
Kasmir, Kewirausahaan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Muhammad ibn Ismail al-Bukhori, Abi Abdillah, Matan Al-Bukhori Masykul: Bihasyiyah al-Sindi, juz.2 Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Suharto, Joko, Menuju Ketenangan Jiwa, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Tasmara, Toto,  Membudayakan Etos Kerja Islami. Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Ya’kub, Hamzah,  Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi), Bandung: CV. Diponegoro, 1984.


[1] Al-imam Abi Bakar Ahmad Ibn Husein Al-Baihaqi, Syu’bul Iman juz. 2,(Beirut: Ad-darul Kutubul Ilmiah, tt), hlm. 88.
[2]Muhammad Faiz Al-Math, 1100 Hadits Terpilih, (Jakarta: Gema Insani Press, 1991), hlm. 182.
[3]H.M. Ma’ruf Abdullaah, Wirausaha Berbasis Syariah, (Banjarmasin: Antasari Press, 2011), hlm. 7-8.
[4]M. I. Yusanto dan M. K. Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 48.
[5] Ibid, hlm. 60.
[6] Johan Arifin, Etika Bisnis Islami, (Semarang: Walisongo Press, 2009), hlm.81.
[7] Al-Qur’anul Al-Karim dan Terjemah Bahasa Indonesia, (Kudus: Menara Kudus, 2006), hlm. 151.
[8] Hamzah Ya’kub, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi), (Bandung: CV. Diponegoro, 1984), hlm. 31
[9] Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhori, Matan Al-Bukhori Masykul: Bihasyiyah al-Sindi, juz.2 (Beirut: Dar al-Fikr, tt), hlm. 6.
[10] Imam Abu Zakaria Yahya bi Syaraf an-Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, jilid. 1, Terj. Achmad Sunarto, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 517.
[11] M.I.Yusanto dan M. K. Widjajakusuma, Op. Cit, hlm. 46
[12] Johan Arifin, Op.Cit, hlm. 71-75.
[13] Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami. (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 83.
[14]  H.M. Ma’ruf Abdullah, Op. Cit, hlm. 18-19.
[15] Kasmir, Kewirausahaan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 22.
[16] Imam Nawawi, Terjemahan Riyadhus Shalihin, jilid I, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 632-633.
[17] Toto Tasmara, Op.cit, hlm. 88
[18] H. Abdul Fattah, kehidupan Manusia di Tengah-tengah Alam Materi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995), hlm. 116
[19] M. Abu Zahrah, Membangun Masyarakat Islam, ( Pustaka Firdaus, 1965), hlm. 124.
[20] H. Abdul Fattah, Op.Cit, hlm. 124.
[21] Ibid, hlm. 128.
[22]H. Abdul Fattah, Ibid, hlm. 125-127.
[23] Joko Suharto, Menuju Ketenangan Jiwa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 109

1 komentar: