I. PENDAHULUAN
Islam mengajarkan umatnya agar bekerja
untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Bekerja disini bisa juga dilakukan dengan
cara berwirausaha, bisa berupa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri ataupun
bekerja pada orang lain. Dalam berwirausaha diperlukan sikap atau etika
berwirausaha yang sesuai dengan syariat Islam. Hal ini dilakukan agar usaha
yang kita lakukan membuahkan hasil yang maksimal dan mendapat berkah dari Allah
walaupun hasilnya itu sedikit tetapi kalau itu berkah maka akan menjadi
kebahagiaan tersendiri bagi si pencari usaha atau orang yang berwirausaha.
Untuk mengetahui hal yang berkaitan
dengan berwirausaha maka dibawah ini akan sedikit dijelaskan mengenai hal
tersebut.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Apa
Pengertian Berwirausaha?
B. Bagaimana
Pandangan Islam tentang Berwirausaha?
C. Bagaimana
Etika Muslim dalam Berwirausaha?
D. Bagaimana
Menyelaraskan Berwirausaha di Dunia dengan Kehidupan Akhirat?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Berwirausaha
Peter F. Drucker
mengatakan bahwa berwirausaha merupakan kemampuan dalam menciptakan sesuatu
yang baru dan berbeda-beda. Pengertian ini mengandung maksud bahwa berwirausaha
adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang berbeda dari yang
lain, atau mampu menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada
sebelumnya.
Sebagaimana
Sabda Rasulullah SAW:
عَنْ
عَاصِمْ بْنِ عُبَيْدِ الله عَنْ سَالِمْ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ للهِ
صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُؤْمِنَ الْمُحْتَرِفَ (أخرجه
البيهقى)[1]
“Dari ‘Ashim Ibn
‘Ubaidillah dari Salim dari ayahnya, Ia berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: “Sesungguhnya
Allah menykai orang mukmin yang berkarya.”(H. R. Al-Baihaqi).[2]
Berdasarkan hadits di atas dapat
disebutkan bahwa berwirausaha merupakan kemampuan dalam hal menciptakan
kegiatan usaha. Kemampuan menciptakan memerlukan adanya kreativitas dan
inovasi.
Kreatifitas adalah mampu menangkap dan
menciptakan peluang-peluang bisnis yang bisa dikembangkan. Di tengah persaingan
bisnis yang ketat sekalipun seorang wirausaha tetap mampu menangkap dan
menciptakan peluang baru untuk berbisnis, sehingga ia tidak pernah khawatir
kehabisan lahan. Sedangkan inovasi adalah mampu melakukan pembaruan-pembaruan
dalam menangani bisnis yang digelutinya, sehingga bisnis yang dilakukannya
tidak pernah usang dan selalu dapat mengikuti perkembangan zaman. Sifat
inovatif ini akan mendorong bangkitnya kembali kegairahan untuk meraih kemajuan
dalam berbisnis.[3]
Jadi orang yang berkarya akan memberikan
kontribusi bagi masyarakat banyak dengan kreatifitas dan inovasinya untuk
menemukan sesuatu yang berbeda dari yang sudah ada sebelumnya.
Contoh dari “al-mukmin al-muhtarif” ditampakkan oleh generasi sahabat Rasulullah
saw. dan para imam. Abdurrahman bin Auf, melalui kelihaiannya membaca peluang
yang ada, bahkan berhasil menyingkirkan peran para pengusaha Yahudi sebagai
pelaku ekonomi utama di Madinah saat itu. Utsman bin Affan dengan usaha
dagangnya (bahan pakaian) membesar hingga menjadi sebuah konglomerasi usaha
yang membawa banyak kebaikan bagi umat Islam di madinah. Imam Abu Hanifah,
selain sibuk mengurus umat dan menjaga syariat juga seorang pedagang bahan
pakaian yang amat jujur dan berhasil.[4]
Sedangkan pada zaman sekarang banyak para pengusaha-pengusaha yang telah
sukses. Misalnya, Lucy Gani Wijaya. Bermula dari keinginan mendapatkan uang
saku kuliah pada tahun 1995. Dengan bendera Malioboro Craft, ia membangun
usaha kerajinan tangan: tas tangan, dompet, hingga wadah bolpoin berbahan baku recycled
paper. Produknya kini telah menembus pasar Eropa dengan sales
representatif-nya di Stuttgart (Jerman), Darwin (Australia), dan Ottawa
(Kanada). Showroomnya di jalan Demakan Baru 79 Tegalrejo, Yogyakarta.[5]
B. Pandangan Islam tentang Berwirausaha
Setiap manusia
memerlukan harta dan kekayaan yang sekecil apapun untuk mencukupi berbagai
kebutuhannya. Karena hal itu, akhirnya manusia selalu berusaha untuk
mendapatkan apa yang ia harapkan, dan salah satunya adalah harta kekayaan,
manusia berlomba-lomba bekerja untuk mencukupi kebutuhannya. Oleh karena itu
Islam kemudian mewajibkan kepada umatnya untuk senantiasa bekerja dalam
memenuhi segala kebutuhan hidup mereka.
Dalam hal
mencari nafkah, umat Islam dituntut mencari karunia yang telah diturunkan oleh
Allah di muka bumi ini. Karena di alam raya ini Allah telah menyediakan
berbagai kebutuhan manusia untuk kehidupan mereka.[6]
Sesungguhnya Allah telah melapangkan bumi dan menyediakan fasilitas, agar
manusia dapat berusaha mencari sebagian dari rizki yang disediakan-Nya bagi
keperluan manusia. Sebagaimana yang telah dijelaskan Allah melalui firman-Nya:
ôs)s9ur öNà6»¨Z©3tB Îû ÇÚöF{$# $uZù=yèy_ur öNä3s9 $pkÏù |·Í»yètB 3 WxÎ=s% $¨B tbrãä3ô±s? ÇÊÉÈ
“Dan sungguh Kami telah menempatkan kamu di bumi dan di sana
Kami sediakan (sumber) penghidupan untukmu. (Tetapi) sedikit sekali kamu
bersyukur.” (Q.
S. Al-A’raf: 10).[7]
Berkenaan dengan itu, maka kesempatan
yang ada tidak patut disia-siakan, melainkan harus dipergunakan dalam berusaha
untuk kepentingan dunia, di samping persiapan untuk hari akhirat. Bumi yang
terhampar luas patut diterima sebagai rahmat dari Allah dengan jalan memakmurkannya dan berusaha diatasnya.[8] Firman Allah:
#sÎ*sù ÏMuÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãϱtFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.ø$#ur ©!$# #ZÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? ÇÊÉÈ
“Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung.”(Q.S. al-Jumu’ah: 10).
Ayat diatas jelas memberikan satu
anjuran agar umat Islam bekerja mencari karunia Allah di dunia, namun hal itu
juga harus dibarengi dengan niat bahwa semua yang dilakukan oleh manusia harus
dilandasi dengan selalu ingat (berdzikir) kepada Allah, agar apa yang mereka
lakukan senantiasa mendatangkan keuntungan, baik berupa keuntungan materi
maupun keuntungan mendapatkan ridho dan pahala dari Allah SWT.
Allah memberikan
kemudahan kepada manusia untuk memakmurkan bumi. Allah menyeru manusia untuk
berkecimpung di dunia ekonomi, bekerja dan berusaha dengan sungguh-sungguh
sehingga menjadi anggota yang bekerja dalam sebuah masyarakat, baik untuk
kepentingan diri sendiri maupun orang lain.
Sementara itu
Rasulullah Muhammad SAW memberikan tuntunan, bahwa salah satu cara yang paling
baik dan utama untuk mencukupi kebutuhan hidup adalah lewat hasil pekerjaan dan
usaha sendiri.
Hal itu
sebagaimana sabda beliau:
عَنْ الْمِقْدَامِ رَ ضِيَ اللهُ عَنْهُ
عَنْ رَسُولِ اللهِ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ
خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَ إِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ
عَلَيْهِ السَّلاَمِ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ (أخرجه البخري).[9]
“Dari Miqdam ra. Dari Rasulullah Saw,
beliau bersabda: Seseorang yang
makan dari hasil usahanya sendiri, itu lebih baik. Sesungguhnya Nabi Daud as
makan dari hasil usahanya sendiri.” (H. R. Al-Bukhori).[10]
Hadits diatas menunjukkan bahwa bekerja
atau berusaha merupakan perbuatan yang sangat mulia dalam ajaran Islam. Dalam
Islam bekerja bukan sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari tetapi juga untuk
memelihara harga diri dan martabat kemanusiaan yang seharusnya dijunjung
tinggi. Karenanya dalam Islam bekerja menempati posisi yang teramat mulia.
Islam sangat menghargai orang yang bekerja dengan tangannya sendiri. Orang yang
bekerja/berusaha untuk mendapatkan penghasilan dengan tangannya sendiri baik
untuk mencukupi kebutuhannya sendiri maupun keluarga dalam Islam orang seperti
ini dikategorikan jihad fi sabilillah. Seperti yang dicontohkan oleh Nabi
Dawud (salah satu pengrajin daun kurma untuk di buat keranjang atau lainnya). Dalam
hadits yang diriwayatkan Hakim, Nabi Dawud juga dikenal sebagai pembuat besi. Nabi
Idris (penjahit yang selalu menyedekahkan kelebihan dari hasil usahanya setelah
digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat sederhana). Nabi
Zakariya dikenal sebagai tukang kayu. Adapun Nabi Musa adalah seorang
penggembala.[11]
Orang yang beriman dilarang bersikap
malas, berpangku tangan, dan menunggu keajaiban datang menghampirinya tanpa
adanya usaha. Allah menciptakan alam beserta isinya diperuntukkan bagi manusia,
namun untuk memperoleh manfaat dari alam ini, manusia harus berusaha dan
bekerja keras.
Bekerja bagi
setiap orang merupakan satu kebutuhan, tidak hanya sekedar kewajiban. Hal itu
dikarenakan salah satu fitrah yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah
bekerja. Bekerja merupakan salah satu upaya setiap manusia dalam rangka
memenuhi dan mencukupi kebutuhan hidupnya. Bekerja menurut Islam merupakan
salah satu ajaran terpenting yang harus dilakukan oleh setiap Muslim. Bekerja
sebagai sarana mencukupi kehidupan hidup dalam pandangan Islam dinilai sebagai
ibadah, yang disamping hal itu dapat mendatangkan keuntungan berupa materi
sebagai hasil secara fisik, maupun akan mendapatkan keuntungan berupa pahala.
Dengan adanya
anjuran untuk bekerja, menjadikan setiap umat Islam harus mencari pekerjaan
sesuai dengan bakat dan kemampuan yang dimiliki. Jalan mendapatkan pekerjaan
adalah bermacam-macam, namun yang terpenting adalah pekerjaan tersebut harus
halal dan sesuai dengan landasan syari’ah Islam. Hal itu harus menjadi pegangan
bagi setiap umat Islam dalam menjalani pekerjaan yang ia geluti. Tanpa hal itu,
maka apa yang dilakukan akan terasa sia-sia dan tidak akan barokah. Dan tentunya
jika bekerja tidak dilandasi dengan semangat keimanan
dan ketaqwaan maka yang akan didapat adalah kebahagiaan yang semu.[12]
Bekerja keras merupakan esensi dari
kewirausahaan. Prinsip kerja keras, menurut Wafiduddin, adalah suatu
langkah nyata yang dapat menghasilkan kesuksesan (rezeki), tetapi harus
melalui proses yang penuh dengan tantangan. Dengan kata lain, orang yang berani
melewati resiko akan memperoleh peluang rizki yang besar.
C. Etika Muslim dalam Berwirausaha
Dalam pemikiran Islam, etika dipahami sebagai al-akhlaq
atau al-adab yang mempunyai tujuan untuk mendidik moralitas para
manusia. Akhlak menempati posisi puncak dalam rancang bangun
ekonomi Islam, karena inilah yang menjadi tujuan Islam dan dakwah para nabi,
yaitu menyempurnakan akhlak.
Beberapa akhlak dasar (etika) seorang
muslim dalam berwirausaha diantaranya:
1. Jujur
Jujur adalah suatu perilaku yang diikuti
oleh sikap tanggung jawab atas apa yang diperbuatnya tersebut atau integritas.
Kejujuran dengan integritas tidak dapat dipisahkan, karena jika jujur tetapi
tidak punya integritas berarti tidak dapat diandalkan, sedangkan mempunyai
integritas tetapi tidak jujur maka diragukan. Akan tetapi jika jujur dan
mempunyai integritas maka dirinya akan dijadikan sebagai panutan.[13]
Dalam mengembangkan harta seorang
wirausaha harus menjunjung tinggi kejujuran, karena kejujuran merupakan akhlak
utama yang merupakan sarana yang dapat memperbaiki kinerja bisnisnya, menghapus
dosa dan bahkan dapat mengantarkannya masuk ke dalam surga, sebagaimana firman
Allah SWT berikut:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qà)®?$# ©!$# (#qä9qè%ur Zwöqs% #YÏy ÇÐÉÈ ôxÎ=óÁã öNä3s9 ö/ä3n=»yJôãr&
öÏÿøótur öNä3s9 öNä3t/qçRè 3 `tBur ÆìÏÜã ©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù y$sù #·öqsù $¸JÏàtã ÇÐÊÈ
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah
perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan
mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa mentaati Allah dan Rasul-Nya,
maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar”. (Q.
S. Al-Ahzab: 70-71).[14]
2. Menepati
Janji
Pengusaha dituntut untuk selalu menepati
janji, misalnya dalam pembayaran, pengiriman barang atau penggantian. Sekali pengusaha
ingkar janji, hilanglah kepercyaan pihak lain terhadapnya. Pengusaha juga harus
konsisten terhadap apa yang telah dibuat dan telah disepakati sebelumnya.[15]
Dalam Islam ingkar janji termasuk salah satu tanda orang munafik. Sebagaimana
Hadits Rasulullah SAW :
وَعَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
رَضِىَ اللهُ عَنْهُ : أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّّمَ قَالَ:
آيَةُ الْمُنَا فِقِ ثََلاَ ثٌ: إِذَا حَدَ ثَ كَذَبَ, وَإِذَا وَعَدَ اَخْلَفَ, وإِذَااؤْ
تُمِنَ خَانَ
“Dari
Abu Hurairah ra. Ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Tanda orang munafik itu
ada tiga, yaitu; Bila berkata ia dusta, bila berjanji ia ingkar dan bila
dipercaya ia khianat. (H. R. Bukhori dan Muslim).[16]
3. Disiplin
Erat kaitannya dengan konsisten adalah
sikap berdisiplin (Latin: disciple, discipulus, murid mengikuti dengan
taat), yaitu kemempuan untuk mengendalikan diri dengan tenang dan tetap taat
walaupun dalam situasi yang sangat menekan.[17]
4. Tangguh
dan pantang menyerah
Seorang pengusaha harus mempunyai sikap
tangguh dalam bekerja dan pantang menyerah dalam menghadapi tantangan arus.
Kalau tidak maka kita akan dikalahkan oleh pengusaha lain sehingga perusahaan
yang sudah lama dibangun bisa mengalami kebangkrutan.
5. Kreatif
Pribadi muslim yang kreatif selalu ingin
mencoba mencari gagasan baru yang asli (Original) sehingga hasil kinerja
yang diharapkan dapat dilaksanakan secara efektif. Seorang yang kreatif bekerja
dengan informasi, data dan mengolahnya sedemikian rupa sehingga memberikan
hasil atau manfaat yang besar.
D. Menyelaraskan Berwirausaha di Dunia dengan Kehidupan
Akhirat
Dunia ini
tercipta bukan tidak ada artinya bagi manusia dalam mencapai kehidupaan bahagia
di akhirat. Orang-orang yang hanya memanfaatkan kekayaan dunia untuk kesenangan
belaka adalah golongan orang-orang yang lalai ke akhirat. Mereka lalai kalau
kehadirannya di dunia sebagai rangkaian perjalanan menuju akhirat.[18]
Bagi orang yang beriman dan sabar bahwa dunia pada akhirnya akan rusak, ia akan
menjadikan dunia ini sebagai kebun akhirat, dengan menjalankan berbagai macam
kegiatan ibadah. Ibadah itu meliputi seluruh kehidupan yang digeluti manusia
setiap hari, mulai dari bangun tidur pagi hari hingga tidur kembali pada malam
hari. Seluruh waktu itu merupakan lapangan ibadah yang tidak ada habisnya.
Orang yang mengerti akan hal ini tentu tidak akan membuang percuma waku dan
pekerjaannya tanpa harapan memperoleh pahala. Kalau dikatakan dunia ini
merupakan kebun akhirat, berarti kesempatan yang sangat besar bagi manusia
untuk memperoleh pahala sebanyak-banyaknya.
Supaya dunia ini
merupakan kebun akhirat, maka hendaklah dunia ini selalu diisi dengan amal kebaikan
atau amal shalih. Artinya semua yang kita kerjakan setiap hari jangan
disia-siakan begitu saja, melainkan harus dijadikan sebagai ibadah. Demikian
seterusnya hingga semua amal yang kita kerjakan ini sebenarnya adalah ibadah
kalau memang kita dapat memanfaatkannya. Salah satunya yaitu, bekerja untuk
mencari kekayaan. Hal ini dapat juga mendatangkan pahala apabila waktu bekerja
kita berniat yang baik untuk mencari keridhaan Allah. Islam sangat menganjurkan
bekerja, dengan menegaskan mencari rezeki sebagai sedekah dan sarana ibadah.
Apabila Islam menyeru untuk bekerja, maka Islam membiarkan seseorang bebas
mencari pekerjaan yang diinginkan, dikuasai dan mudah baginya.[19]
Ada sebagian
Ulama yang menganjurkan atau bahkan memerintahkan kita meninggalkan masalah
keduniaan untuk tekun menghadapi kehidupan di akhirat. Ada juga sebagian Ulama
lain yang bersifat netral, yaitu memperhatikan dunia dan akhiratnya secara
seimbang.[20]
Rasulullah SAW
bersabda:
عَنْ اَنَسِ ابْنِ مَالِك قَالَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمْ: لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ
لآِخِرَتَهُ وَلاَ آخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ حَتىَّ يُصِيْبَ مِنْهُمَا جَمِيْعًا فَإنَّ
الدُّنْيَا بَلاَغٌ اِلَى اْلآخِرَةِ وَلاَ تَكُوْنُوْا كَلاًّ عَلَى النَّاسِ
﴿ رواه الديلمى وابن عساكر عن انس ﴾
“Dari Anas Ibn Malik, ia berkata bahwa
Rasulullah Saw. Bersabda: “Tidak ada kebaikan bagi kalian orang yang
meninggalkan dunianya untuk akhiratnya, dan orang yang meninggalkan akhiratnya
untuk dunianya saja sehingga dia memperoleh keduanya secara bersamaan. Karena
sesungguhnya dunia itu yang menyampaikan ke akhirat. Dan janganlah kalian
membuta penat (menyusahkan) atas manusia.” (HR. Dailami dan Ibnu Assakir
dari Anas).[21]
Dari hadits di atas dijelaskan bahwa
tidak akan mendatangkan orang yang hidup hanya mementingkan dunianya saja tanpa
memperhatikan kepentingan akhirat, sepreti pada kata “Tidak ada kebaikan
bagi kalian orang yang meninggalkan dunianya untuk akhiratnya,” sebaliknya
tidak juga harus terlalu mementingkan kehidupan akhirat lalu mengabaikan urusan
dunianya, seperti pada ungkapan hadits “orang yang meninggalkan akhiratnya
untuk dunianyasaja sehingga dia memperoleh keduanya secara bersamaan.” Jadi
kehidupan yang baik adalah kehidupan yang mencakup keduanya, yakni keseimbangan
dan keselarasan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Karena kehidupan
dunia merupakan bekal kehidupan kita di akhirat kelak. Jika di dunia kita hiasi
dengan perbuatan yamg mulia, tentu hal ininakan menjadi jembatan emas untuk
kehidupan ahirat.
Menurut Hamka al-Maghfurlah, pembagian
manusia dalam menghadapi dunia ada 3 golongan, anatara lain:
1.
Orang yang hanya
memikirkan harta, tidak insaf akan hari tua, tidak insaf akan hari akhirat,
sehingga hartanya tidak dijadikan bekal. Ada juga mereka ingat akan hari tua,
tetapi semata-mata ingat saja, selalu mengeluh. Kalau mereka mendengar seorang
guru menerangkan pelajaran akhirat, bahaya harta, dan lain-lain, waktu itu
mereka hanya manggut-manggut, terasa betul olehnya. Tetapi bilamana habis
mendengar pengajaran tadi, mereka kembali pula pada kelalainya.
2.
Orang yang
berpaling dari dunia dan hrta sama aekali, tidak peduli, bahkan benci. Mereka
lupakan dan tidak pedulikan, karena mereka hanya mengingat amal ibadat. Golongan
ini disebut orang-orang Nussak (zuhud, benci dunia, dan lain-lain).
3.
Orang
pertengahan, yaitu orang yang membayar hk dunia dan membayar hak akhirat.
Diambilnya harta dunia sepuas-puasnya, digunakannya untuk menyokong amalnya
menempuh akhirat. Karena dia berkeyakinan bahwa amal ibadah itu tidaklah dengan
menekur-nekur saja, tetapi dengan membantu dan menolong sesama hamba Allah.
Sebab di zaman sekarang, semua tidak akan tercapai kalau bukan dengan harta
benda.[22]
Kita hidup tidaklah semata untuk diri sendiri,
tetapi kita hidup dan bekerja pada hakikatnya untuk kepentingan bersama atau
demi orang lain. Bila semakin bermanfaat diri kita bagi orang lain, maka akan
bertambah baiklah nilai kehidupan kita sebagai hamba Allah. Karena itu,
selayaknya bila kita hidup untuk selalu berusaha memberikan keuntungan bagi
orang lain, bekerja untuk membantu, memberi dan melayani orang lain.
Memberikan layanan yang baik kepada orang lain
merupakan salah satu bentuk pengabdian dan pelayanan kita terhdap kehendak
Allah. Selain itu, kita dapat melakukan kegiatan bekerja dengan baik, dan perlu
kita yakini bahwa kebahagiaan yang sebenarnya justru berada pada sikap memberi,
bukan pada saat menerima pemberian.[23]
IV. KESIMPULAN
Berwirausaha adalah kemampuan untuk
menciptakan sesuatu yang baru yang berbeda dari yang lain, atau mampu
menciptakan sesuatu yang berbeda dengan yang sudah ada sebelumnya. Bekerja
merupakan salah satu kewajiban bagi setiap Muslim, dan lebih dari itu
orang-orang yang senantiasa mencukupi kebutuhan hidupnya tanpa menggantungkan
kepada orang lain (dari usaha/keringat sendiri) merupakan sebagian dari
manusia-manusia yang utama.
Dalam hal ini berwirausaha harus
disertai dengan etika
Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, diantaranya
yaitu jujur, menepati janji, disiplin, tangguh dan pantang menyerah serta
kreatif sehingga perusahaan yang dipimpin dapat berjalan dengan lancar. Kita
tahu bahwa kita bekerja bukan hanya semata-mata untuk kepentingan pribadi akan
tetapi untuk kepentingan bersama dan juga untuk kepentingan di dunia serta di
akhirat nanti, karena semua yang ada di dunia sekarang ini adalah bekal untuk
akhirat. Jadi alangkah baiknya kita menyeimbangkan atau menyelaraskan antara
dunia dan akhirat salah satunya dengan menerapkan etika Islam dalam berwirausaha.
DAFTAR PUSTAKA
Abi
Bakar Ahmad Ibn Husein Al-Baihaqi, Al-Imam, Syu’bul Iman juz. 2, Beirut: Ad-darul Kutubul Ilmiah,
tt.
Abu
Zahrah, Muhammad, Membangun
Masyarakat Islam, Pustak Firdaus,
1965.
Abu
Zakaria Yahya bi Syaraf an-Nawawi, Imam,
Terjemah Riyadhus Shalihin, jilid. 1, Terj. Achmad Sunarto,
Jakarta: Pustaka Amani, 1999.
Al-Qur’anul
Al-Karim dan Terjemah Bahasa Indonesia, Kudus: Menara Kudus, 2006.
Arifin,
Johan, Etika Bisnis Islami, Semarang: Walisongo Press, 2009.
Faiz Al-Math, Muhammad, 1100 Hadits
Terpilih, Jakarta: Gema Insani Press, 1991.
Fattah,
H. Abdul, kehidupan Manusia di
Tengah-tengah Alam Materi, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995.
Kasmir,
Kewirausahaan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Muhammad
ibn Ismail al-Bukhori, Abi Abdillah, Matan Al-Bukhori Masykul: Bihasyiyah
al-Sindi, juz.2 Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Suharto,
Joko, Menuju Ketenangan Jiwa, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Tasmara,
Toto, Membudayakan Etos Kerja Islami.
Jakarta: Gema Insani Press, 2002.
Ya’kub, Hamzah, Kode Etik Dagang Menurut Islam (Pola
Pembinaan Hidup dalam Berekonomi), Bandung: CV. Diponegoro, 1984.
[1] Al-imam Abi Bakar Ahmad Ibn
Husein Al-Baihaqi, Syu’bul Iman juz. 2,(Beirut: Ad-darul Kutubul Ilmiah,
tt), hlm. 88.
[2]Muhammad Faiz Al-Math, 1100
Hadits Terpilih, (Jakarta: Gema Insani Press, 1991), hlm. 182.
[3]H.M. Ma’ruf Abdullaah, Wirausaha
Berbasis Syariah, (Banjarmasin: Antasari Press, 2011), hlm. 7-8.
[4]M. I. Yusanto dan M. K.
Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta: Gema Insani Press,
2002), hlm. 48.
[5] Ibid, hlm. 60.
[7] Al-Qur’anul Al-Karim dan
Terjemah Bahasa Indonesia, (Kudus: Menara Kudus, 2006), hlm. 151.
[8] Hamzah Ya’kub, Kode Etik
Dagang Menurut Islam (Pola Pembinaan Hidup dalam Berekonomi), (Bandung: CV.
Diponegoro, 1984), hlm. 31
[9] Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail
al-Bukhori, Matan Al-Bukhori Masykul: Bihasyiyah al-Sindi, juz.2 (Beirut:
Dar al-Fikr, tt), hlm. 6.
[10] Imam Abu Zakaria Yahya bi Syaraf
an-Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, jilid. 1, Terj. Achmad Sunarto,
(Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 517.
[11] M.I.Yusanto dan M. K.
Widjajakusuma, Op. Cit, hlm. 46
[13] Toto Tasmara, Membudayakan
Etos Kerja Islami. (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm. 83.
[15] Kasmir, Kewirausahaan,
(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 22.
[16] Imam Nawawi, Terjemahan Riyadhus
Shalihin, jilid I, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hlm. 632-633.
[17] Toto Tasmara, Op.cit, hlm.
88
[18] H. Abdul Fattah, kehidupan
Manusia di Tengah-tengah Alam Materi, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995),
hlm. 116
[19] M. Abu Zahrah, Membangun
Masyarakat Islam, ( Pustaka Firdaus, 1965), hlm. 124.
[20] H. Abdul Fattah, Op.Cit, hlm.
124.
[21] Ibid, hlm. 128.
[23] Joko Suharto, Menuju
Ketenangan Jiwa, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 109
terimakasih bacaan yg menarik.
BalasHapushttp://www.erwinwiguna.com/